Sebagai salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi sebesar 29 persen pada 2030. Berbagai inisiatif diluncurkan pemerintah untuk mencapai target ini, seperti program perlindungan lahan gambut dan keanekaragaman hayati, rehabilitasi hutan dan lahan, serta proyek energi terbarukan.
Banyak perusahaan dan organisasi non-pemerintah yang ingin berpartisipasi dalam upaya tersebut. “Namun inisiatif hijau sering kali terhambat oleh kurangnya teknologi untuk memantau kemajuan (program lingkungan),” kata Arfan Arlanda, pendiri dan CEO Jejak.in, perusahaan rintisan yang berfokus pada upaya melawan perubahan iklim dengan memanfaatkan kecerdasan buatan dan Internet-of-things.
Jejak.in, start-up yang mengidentifikasi lingkungan dengan AI dan IoT. TEMPO/Nurdiansah.
“Para aktivis dan ahli lingkungan telah mencurahkan banyak tenaga, waktu, dan uang pada proyek lingkungan, tapi mereka tidak punya alat guna mengukur hasilnya,” kata Arlanda.
Didirikan pada 2018, Jejak.in mengelola tiga aksi atau produk inti, yaitu Pemantauan Pohon dan Hutan, Kalkulator Emisi Karbon, serta Pasar Penyeimbangan Karbon dan Pohon. Fitur Pemantauan Pohon dan Hutan, kata dia, dapat membantu organisasi dalam merencanakan program reboisasi, dari pemetaan topografi, plotting, hingga pemilihan jenis pohon yang cocok bagi lahan tertentu.
Jejak.in, dia menambahkan, memiliki data sekitar 15 ribu spesies pohon yang memiliki karakteristik dan potensi penyerapan karbon yang berbeda-beda. “Kami juga bisa membantu mengukur pertumbuhan tanaman, tutupan lahan, penyerapan karbon, serta dampaknya terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati."
Untuk memantau kondisi pepohonan di area yang ditentukan dan mengumpulkan data lingkungan, perusahaan tersebut memanfaatkan teknologi, seperti drone, sensor Internet-of-things, pendeteksi cahaya dan jarak, serta satelit. Jejak.in juga menyediakan alat untuk mengukur serapan karbon, infiltrasi air, serta kondisi tanah dan udara. Data yang didapat lantas diolah dan dilaporkan kepada klien.
Produk berikutnya, yakni Kalkulator Emisi Karbon, dirancang untuk menunjukkan angka emisi karbon langsung dan tidak langsung yang dihasilkan oleh kegiatan bisnis klien. “Dengan data yang akurat, perusahaan dapat merancang strategi buat mengurangi dampak lingkungan dari kegiatan bisnisnya,” ucap Arlanda.
Carbon Calculator Jejak.in. Dok. Jejak.in.
Adapun produk ketiga, yakni Pasar Penyeimbangan Karbon dan Pohon, memungkinkan organisasi serta individu berpartisipasi dalam berbagai program penggantian kerugian karbon yang dikelola oleh mitra Jejak.in, seperti LindungiHutan, yang merupakan platform crowdfunding bagi pelestarian hutan, dan komunitas lingkungan Hutan Itu Indonesia.
“Awalnya, kami hanya berfokus di segmen business-to-business. Namun, supaya setiap orang bisa terlibat dalam pelestarian lingkungan dan memerangi perubahan iklim, kami menciptakan platform pasar," kata Arlanda.
Selain itu, ia mengharapkan pasar tersebut dapat menjadi cikal bakal pasar pertukaran emisi karbon di Indonesia, sebagaimana yang banyak diadopsi di negara-negara maju. “Singapura sudah memiliki platform pertukaran digital untuk memperdagangkan kredit karbon. Saya yakin Indonesia bisa melakukan hal yang sama,” dia menuturkan.
Founder dan CEO Jejak.in, Arfan Arlanda. Dok. Jejak.in.
Arlanda menjelaskan, pihaknya telah bekerja sama dengan beberapa perusahaan, seperti Gojek dan MRT Jakarta, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang perubahan iklim. Alumnus program akselerator perusahaan rintisan Gojek Xcelerate ini menjalin kerja sama dengan Gojek untuk fitur GoGreener.
Fitur tersebut memungkinkan pengguna layanan transportasi Gojek menghitung jejak karbon yang mereka hasilkan saban hari. Pengguna kemudian dapat mengimbangi emisi tersebut dengan menyumbangkan uang untuk proyek penanaman pohon di Jakarta, Jawa Tengah, dan Kalimantan Timur.
Pendapatan Jejak.in berasal dari komisi yang diberikan oleh klien. Perusahaan juga mengutip biaya transaksi dari setiap pembelian melalui Pasar Penggantian Kerugian Pohon dan Karbon atau melalui platform mitranya. Misalnya, setiap perhitungan penggantian karbon yang dilakukan Jejak.in di fitur Gojek's Greener sudah menyertakan biaya layanannya.
Arlanda mengakui, Jejak.in bukanlah pemain tunggal di segmen program konservasi. Namun, dia menegaskan, perusahaannya berbeda karena menyediakan data yang komprehensif dan memantau proyek klien dengan cermat. Selain dapat melacak ke mana uang donasi mengalir, pengguna Jejak.in bisa memeriksa perkembangan proyek penanaman pohon yang diikuti.
Ia menilai potensi bisnis di segmen teknologi dan inovasi lingkungan sangat besar seiring dengan meningkatnya minat perusahaan-perusahaan besar untuk mengambil bagian dalam inisiatif penggantian kerugian karbon. Ia mencontohkan, di kawasan Silicon Valley, Amerika Serikat, raksasa digital, seperti Facebook, Google, Apple, dan Microsoft, telah mengumumkan rencana untuk menekan jejak karbon ke angka nol. Cina juga berjanji menjadi negara netral karbon pada 2060.
“Jadi, saya sangat yakin Indonesia akan mengikuti tren positif ini,” ucapnya.
Mendapatkan dana awal dari program Gojek Xcelerate pada Juni 2020, Arlanda menuturkan, Jejak.in terbuka untuk pendanaan, tapi sangat selektif dalam memilih investor. Ia berujar, lantaran bisnis yang digeluti sangat khusus, Jejak.in hanya mencari investor yang memiliki minat yang sama dan memahami masalah lingkungan.
“Kami ingin menemukan mitra strategis yang dapat membantu kami dalam hal jaringan, birokrasi, dan aspek lainnya,” kata Arlanda.
EFRI RITONGA
Tulisan ini hasil kerja sama Koran Tempo dengan KrASIA.