JAKARTA - Impor ilegal atau penyelundupan mengancam keberlanjutan industri tekstil nasional. Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (Ikatsi), Suharno Rusdi, mengatakan penyelundupan kian marak dalam dua tahun terakhir.
Dia mencontohkan, pada Agustus tahun lalu, Kejaksaan Agung menyidik 566 peti kemas berisi bahan tekstil yang diimpor tanpa syarat memadai. Modusnya adalah pengurangan volume (under-volume) dan memanipulasi keterangan jenis barang untuk mengurangi beban bea masuk tindakan pengamanan sementara (BMTPS) atau safeguard.
Kasus kedua adalah penyelundupan 27 kontainer bahan tekstil di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, yang ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Menurut Suharno, dari dua kasus itu, negara merugi Rp 1,7 triliun. Dia menduga kerugian bisa jauh lebih besar apabila aparat mengusut penyalahgunaan fungsi Pusat Logistik Berikat (PLB) yang terjadi pada 2019. "Sebelum dua kasus itu terbongkar, impor ilegal telah terjadi di beberapa PLB," ujar Suharno kepada Tempo, kemarin.
Suharno menduga telah terjadi manipulasi dokumen impor di sejumlah PLB. Dua kasus penyelundupan tekstil itu, kata dia, merupakan aksi lanjutan dari para penyelundup di PLB yang terusik. Menurut dia, penyebab utama maraknya impor ilegal adalah selisih harga yang tinggi antara produk dalam negeri dan impor.
“Selisih harga bisa disebabkan oleh berbagai hal, misalnya supply demand yang tidak seimbang, tata kelola industri yang tidak efisien, bunga pinjaman yang tidak kompetitif, supply chain yang tidak bagus, serta infrastruktur yang tidak mendukung,” kata dia.
Menurut Suharno, safeguard menjadi instrumen yang diterapkan dalam keadaan darurat untuk menekan dampak impor dan menyelamatkan industri dalam negeri. Namun, kata dia, instrumen tersebut hanya bersifat sementara. Suharno mengatakan, untuk menghentikan impor ilegal, perlu ada perbaikan fundamental dan struktur industri tekstil. "Misalnya, dengan mengurangi ketergantungan bahan baku impor, menciptakan biaya produksi yang kompetitif, dan pemberian bunga pinjaman yang lunak," katanya.
Stok kain menggunung di gudang salah satu industri tekstil di Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 16 September 2019. TEMPO/Prima mulia
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, mengatakan selisih harga bukanlah satu-satunya penyebab maraknya impor tekstil. Menurut dia, biaya produksi produk Indonesia tak kalah kompetitif dibanding negara lain. "Selisihnya hanya 10 persen."
Menurut Redma, disparitas tekstil di pasar lokal terjadi karena praktik curang. "Kalau barang Cina masuk ke Indonesia, akan dapat rabat 10 persen. Karena dapat rabat, mereka turunkan harga. Itu sama saja praktik dumping," ujar dia. Karena praktik tersebut, Redma menaksir terjadi selisih harga 20-25 persen.
Modus lainnya adalah under-invoice dan under-volume sehingga pembayaran pajak dan bea masuk menjadi rendah. Dengan modus seperti itu, kata Redma, pajak yang harus dibayar importir rendah sehingga memungkinkan mereka menawarkan harga murah. "Kalau dikatakan produk kita tidak berdaya saing, itu tidak tepat karena produsen dalam negeri masih bisa lakukan ekspor," kata Redma.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, mengatakan populasi Indonesia yang besar menjadi sasaran produsen tekstil dunia, seperti Cina, Bangladesh, dan Vietnam. Pada saat bersamaan, pasar Indonesia masih berorientasi pada produk murah.
Jemmy berharap ada regulasi yang bisa menekan penyelundupan tekstil dan produk tekstil. Menurut dia, kalau industri dalam negeri kolaps, jumlah pengangguran tidak bisa dibendung. "Kalau industri tekstil banjir impor, bukan hanya industri, tapi industri kecil-menengah juga terkena dampaknya," kata dia.
Koordinator Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Rudi Margono, mengatakan masih ada celah yang memungkinkan penyelundup masuk. Menurut dia, modus yang paling umum adalah impor yang melebihi kuota dari yang ditetapkan. Dia mengatakan Batam dan Surabaya masih menjadi pintu utama tekstil ilegal. "Dokumen dimanipulasi. Isi jumlah kontainer berbeda dengan dokumen. Ada kongkalikong dengan penerima," kata dia.
LARISSA HUDA