JAKARTA – Rencana merger perusahaan telekomunikasi boleh jadi akan mengubah peta persaingan di industri tersebut. Di tengah ketatnya persaingan, langkah konsolidasi merupakan upaya pelaku usaha menekan biaya operasional sekaligus menyehatkan industri telekomunikasi secara keseluruhan.
“Jika Indosat Ooredoo dan Tri Indonesia jadi konsolidasi, mereka akan menjadi pemain nomor dua di bawah Telkomsel. Tentu saja XL Axiata dan Smartfren posisinya terancam,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi, kemarin.
Pada akhir tahun lalu, Ooredoo Q.P.S.C. telah menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding) eksklusif dan tidak mengikat secara hukum dengan CK Hutchison Holdings Limited. Penandatanganan nota kesepahaman itu berkaitan dengan rencana ‘mengawinkan’ bisnis telekomunikasi mereka di Indonesia, yaitu PT Indosat Tbk dan PT Hutchison 3 Indonesia.
Meski begitu, Heru menilai, nota kesepahaman yang diteken Ooredoo dan Hutchison belum menunjukkan kejelasan perihal skema merger yang akan ditempuh. Sejauh ini, kedua perusahaan masih menyimpan rapat-rapat apakah konsolidasi tersebut termasuk melepas saham Hutchison di Tri atau melepas saham Ooredoo di Indosat.
Belum lagi pemerintah Indonesia juga masih memiliki saham di Indosat Ooredoo. Itu sebabnya, Heru memperkirakan, keberhasilan negosiasi akan ditentukan oleh kesepakatan bisnis antara Hutchison dan Ooredoo, yang dulu bernama Qatar Telecom, juga restu dari pemerintah Indonesia.
Perawatan base transceiver station (BTS ) milik XL Axiata di Gatot Subroto, Jakarta Selatan. TEMPO/Tony Hartawan
Saat ditanya mengenai perkembangan rencana merger, Chief Financial Officer Indosat, Eyas Naif Assaf, menjelaskan, hingga saat ini, belum ada kesepakatan apa pun mengenai skema merger yang akan ditempuh Indosat dengan Hutchison Tri Indonesia. Menurut dia, nota kesepahaman yang diteken dua perusahaan induk yang menaungi Indosat dan Tri masih berada pada tahap awal.
“Belum ada detail atau kesepakatan yang telah dicapai mengenai bentuk merger, investasi, ataupun jaringan dari kemungkinan hasil merger tersebut,” ujar Eyas.
Itu sebabnya, kata Eyas, Indosat belum bisa menilai dampak dari peluang penggabungan usaha tersebut. Ia hanya bisa memastikan bahwa sampai saat ini bisnis perseroan masih berjalan seperti biasa dan tidak ada dampak terhadap operasional, finansial, maupun bisnis lainnya.
Wakil Direktur Utama PT Hutchison 3 Indonesia Muhammad Danny Buldansyah menuturkan merger kedua perusahaan akan mengurangi jumlah kompetitor di pasar. Dengan begitu, kata dia, faktor kompetisi diharapkan bisa berkurang. Perusahaan yang melakukan konsolidasi tentu bisa memberikan efisiensi biaya. “Biaya pembangunan infrastruktur dapat lebih murah dibanding perusahaan harus melakukan pembangunan sendiri,” ujar Danny.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus menilai Hutchison 3 Indonesia atau Tri memiliki kelebihan dalam hal lalu lintas atau traffic data Internet. Selain itu, Tri dinilai bisa menjangkau pasar kelompok anak muda atau milenial. Hal ini, kata Nico, bisa menopang kinerja, baik itu menambah pangsa pasar bisnis maupun traffic data Internet Indosat Ooredoo.
“Namun, selama kita belum mendapatkan informasi ihwal isi negosiasi tersebut, kami tidak bisa mengukur seberapa jauh merger ini memberikan dampak bagi keduanya,” ujar Nico.
Menurut Nico, sektor telekomunikasi merupakan salah satu sektor infrastruktur yang masih akan terus berkembang. Namun itu semua bergantung pada seberapa siap perusahaan menyediakan sarana infrastrukturnya. “Bisnis ini modalnya sangat besar,” ujar Nico.
Perusahaan yang mampu mempersiapkan infrastruktur dengan baik tentu akan mendapatkan ceruk pasar yang lebih besar. “Siapa yang mampu menjaga kualitas jaringan data tentu akan lebih diuntungkan meskipun harganya lebih mahal,” ujar Nico.
Di industri telekomunikasi, wacana merger antar-perusahaan sudah lama menjadi perbincangan. Sebelum rencana merger antara Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia mencuat, isu konsolidasi menyangkut PT Smartfren Telecom Tbk (FREN) dibicarakan pada Februari 2019.
Saat itu, FREN dikabarkan akan bergabung dengan PT XL Axiata Tbk (EXCL) atau PT Indosat Tbk (ISAT). Akibat kabar itu, saham FREN terbang hingga 264,56 persen. Buntutnya adalah perdagangan saham FREN sempat disuspensi oleh otoritas Bursa Efek Indonesia.
Namun rencana konsolidasi itu tarik-ulur. Salah satunya dipicu oleh inkonsistensi peraturan di industri telekomunikasi. Itu sebabnya, rampungnya pembahasan Undang-Undang Cipta Kerja, terutama yang menyangkut kejelasan frekuensi, bisa menjadi pijakan perusahaan dalam melakukan konsolidasi.
“Meski mereka masih menunggu rancangan peraturan pemerintah selesai agar urusan teknis UU Cipta Kerja juga menjadi kian terang,” kata Heru.
Spanduk penjualan pulsa dari sejumlah operator telekomunikasi di Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Komisaris independen Link Net, Alexander Rusli, membenarkan bahwa pembicaraan konsolidasi antar-pemain di industri ini sudah lama muncul, terutama setelah penggunaan data Internet terus meningkat. Menurut dia, perusahaan telekomunikasi sudah saling menjajaki dan membuka peluang konsolidasi. Namun, saat itu, pembicaraan belum sampai pada tahap deklarasi seperti sekarang.
“Saya melihat konsolidasi sudah tidak dapat ditunda lagi,” kata Alex Rusli, yang juga bekas Direktur Utama Indosat. “Industri telekomunikasi sudah berada dalam situasi, apabila tidak merger, kualitas pelayanan akan memburuk.” Apalagi persoalan jaringan dalam bisnis telekomunikasi menyedot pengeluaran paling besar.
Head Corporate Communication XL Axiata, Tri Wahyuningsih, sepakat bahwa pilihan operator untuk melakukan konsolidasi terbuka lebar pada tahun ini. Apalagi persaingan industri telekomunikasi pada tahun ini masih akan berlanjut. Akibatnya, operator harus bersaing menekan harga agar bisa bertahan dalam ketatnya persaingan. Setiap operator juga dituntut semakin efisien dalam memberikan layanan yang lebih baik bagi pelanggan.
“Kondisi tersebut akan mendorong adanya kebutuhan dari beberapa operator untuk melakukan konsolidasi,” ujar Wahyuningsih.
LARISSA HUDA