JAKARTA - Sejumlah bank badan usaha milik negara (BUMN) bersiap mengemban peran baru sebagai bank jangkar atau bank penyalur likuiditas bagi bank lain, yang merupakan bagian dari penanggulangan dampak wabah Covid-19.
Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Royke Tumilaar, mengatakan diperlukan kesiapan manajemen risiko agar penugasan itu tak menimbulkan persoalan di kemudian hari. "Agar likuiditas bank penyangga tak terganggu, sebaiknya sumber dana semuanya dari pemerintah," ujar dia kepada Tempo, kemarin.
Kekhawatiran Royke didasarkan pada kondisi industri perbankan yang tengah lesu. Arus kas bank terganggu karena banyaknya nasabah yang mengajukan restrukturisasi kredit. Bank Mandiri bersama tiga bank BUMN lain, yaitu PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, masuk daftar 15 bank yang memenuhi kriteria sebagai bank jangkar, yang tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Syarat bank jangkar adalah 15 bank umum dengan aset terbesar dan dalam kategori sehat.
Bank Mandiri nantinya akan menerima penempatan dana dari pemerintah untuk kemudian meneruskannya kepada bank pelaksana yang berhak mendapatkan bantuan likuiditas. "Untuk penilaian kelayakan siapa-siapa saja bank yang berhak mendapatkan bantuan, akan dibantu oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)," ujar Royke.
Skema bank jangkar ini bukan tanpa risiko. Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, menuturkan pelaksanaan skema tersebut berpotensi membahayakan keberlangsungan kinerja bank jangkar. "Ini membuat risiko beralih kepada bank peserta, padahal mereka juga punya masalah sendiri, harus menangani restrukturisasi belasan ribu debitor, lalu di satu sisi mereka harus menolong bank lain," ucapnya. Status bank jangkar yang kebanyakan merupakan perusahaan terbuka, menurut dia, juga dapat mengundang persepsi negatif dari investor.
Alih-alih menjadikan bank sebagai perpanjangan tangan penyangga likuiditas, Aviliani mengusulkan kepada pemerintah untuk mengoptimalkan peran BUMN pengelola aset, seperti PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). "Karena dia ini kan semacam perusahaan modal ventura, jadi menempat dana dulu nanti ditarik lagi," ujar dia.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, turut mempertanyakan relevansi kebijakan itu. Sebab, selama ini perbankan telah memiliki akses untuk memperoleh likuiditas tambahan langsung dari Bank Indonesia, seperti dengan melakukan repurchase agreement (repo) surat utang atau Surat Berharga Negara (SBN) yang dimiliki. "Seharusnya skema ini saja sudah cukup, karena soal kecukupan likuiditas ini seharusnya wewenang dan tugas Bank Indonesia, tanpa harus melibatkan pihak lain," ujarnya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu berujar, dana yang disiapkan pemerintah untuk skema penempatan likuiditas tambahan itu dialokasikan sebesar Rp 35 triliun. "Penempatan dana pemerintah itu bisa berbentuk seperti deposito," katanya. Menurut Febrio, skema itu lebih ditujukan sebagai langkah antisipasi jika ada perbankan yang mengalami persoalan likuiditas selama menjalankan restrukturisasi kredit maupun pembiayaan akibat wabah Covid-19. "Secara agregat, kami melihat sistem perbankan kita tidak ada masalah likuiditas, namun satu atau dua bank mungkin bisa saja ada yang mengalaminya di kemudian hari." GHOIDA RAHMAH
Bank BUMN Bersiap Salurkan Bantuan Likuiditas