JAKARTA – Pemerintah memastikan tak akan gegabah dalam mencari sumber pembiayaan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 yang diproyeksikan melebar hingga 5,07 persen. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, mengatakan pemerintah akan ekstra-hati-hati saat memutuskan menarik utang baru di tengah masa pandemi Covid-19.
Dia mengatakan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) saat ini masih berada dalam batas aman, yaitu 32,12 persen hingga akhir Maret lalu, jauh di bawah batas aman 60 persen. "Meski rasio dalam kondisi nyaman, kita tidak bisa ceroboh menaikkannya tiba-tiba," ujar Febrio.
Posisi utang pemerintah pada Maret tercatat mencapai Rp 5.192,56 triliun, naik Rp 244,38 triliun dibanding posisi pada Februari. Febrio mengatakan pemerintah menyadari kebutuhan pembiayaan penanganan dampak wabah Covid-19 tidak sedikit, sedangkan kapasitas fiskal yang dimiliki terbatas.
Kebutuhan pembiayaan utang keseluruhan tahun ini diproyeksikan mencapai Rp 654,5 triliun, dengan tiga sumber pembiayaan. Pertama, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) baik di pasar domestik maupun global. Kedua, penarikan pinjaman dari lembaga multilateral maupun bilateral. Selanjutnya, penerbitan SBN, termasuk SBN yang akan dibeli oleh Bank Indonesia di pasar primer. "Pemerintah akan mencari sumber pembiayaan utang dengan biaya yang relatif murah serta risiko yang terkendali," ucap Febrio.
Kemampuan fiskal pemerintah turut menjadi perhatian dunia. Lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P), pekan lalu, merevisi outlook Indonesia menjadi negatif dari sebelumnya di posisi stabil. Outlook negatif itu mencerminkan ekspektasi S&P bahwa dalam beberapa waktu ke depan Indonesia akan menghadapi kenaikan risiko eksternal serta fiskal akibat meningkatnya kewajiban luar negeri dan beban utang pemerintah untuk membiayai penanganan pandemi Covid-19.
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, realisasi pembiayaan utang hingga akhir Maret adalah Rp 76,48 triliun. Di tengah berbagai tekanan perekonomian global dan domestik, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan pemerintah tetap mengelola utang dengan prudent dan akuntabel. "Beberapa bulan ke depan postur pembiayaan akan mengalami perubahan, seiring dengan penerimaan negara yang mengalami tekanan dan belanja negara yang bertambah," kata dia.
Pembiayaan utang melalui penerbitan SBN menjadi fokus utama pemerintah. Menurut Sri Mulyani, penerbitan akan bersifat fleksibel sesuai dengan peluang yang dimiliki, serta waktu penerbitan, dan nilai penerbitan yang sesuai dengan kondisi pasar keuangan. Pemerintah juga membuka kesempatan penerbitan terhadap permintaan private placement dari BUMN atau lembaga.
Pemerintah juga memiliki opsi untuk mendapatkan pembiayaan hingga US$ 6 miliar dari Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), dan lembaga donor lainnya. "Kami juga didukung oleh Bank Indonesia sebagai sumber pembiayaan yang bersifat last resort."
Penarikan utang yang banyak bersumber dari obligasi negara patut diwaspadai. Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual, mengatakan dalam kondisi normal obligasi dapat diserap oleh sektor keuangan, seperti perbankan dan investor rumah tangga untuk obligasi retail. "Tapi, masalahnya, daya serap cenderung terbatas di tengah krisis," kata dia.
Kebijakan pemerintah menerbitkan global pandemic bond senilai US$ 4,3 miliar dengan tenor hingga 50 tahun juga menjadi sorotan. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan hal ini berpotensi menambah beban generasi, belum lagi bunga yang dibayarkan untuk obligasi berdenominasi dolar Amerika Serikat tidak murah. "Generasi mendatang hingga 2070 harus menanggung beban atas pembiayaan terhadap krisis di 2020."
Pemerintah juga disarankan kembali mengoptimalkan efisiensi berupa realokasi dan refocusing anggaran. Ekonom sekaligus mantan menteri keuangan, Chatib Basri, menyebutkan sejumlah celah yang masih dapat digunakan. "Mungkin anggaran perjalanan dinas bisa dipangkas lagi, setelah sebelumnya dipotong dari Rp 43 triliun menjadi Rp 25 triliun," ucap dia. Selain itu, pemerintah masih dapat menekan belanja modal fisik, khususnya untuk pembiayaan infrastruktur.CAESAR AKBAR | GHOIDA RAHMAH
Pemerintah Berjanji Hati-hati Tarik Utang Saat Pandemi