JAKARTA – PT Pertamina (Persero) berencana menggenjot impor di tengah kelesuan harga minyak mentah dunia. Kegiatan produksi di sejumlah kilang dipangkas untuk efisiensi. "Biaya produksi lebih mahal dibanding harga beli minyak impor," kata Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, kemarin.
Harga minyak Brent yang menjadi acuan minyak mentah Indonesia (ICP) kemarin anjlok ke kisaran US$ 25 per barel. Angkanya jauh lebih rendah dari asumsi ICP pemerintah dalam APBN 2020 yang ditetapkan sebesar US$ 63 per barel. Harga minyak dalam perdagangan kontrak berjangka West Texas Intermediate untuk Mei 2020 ambles hingga minus US$ 37,6 per barel.
Nicke memutuskan untuk memanfaatkan momentum penurunan harga tersebut dengan menambah impor minyak mentah sebanyak 10 juta barel dan bensin jenis RON 92 sebanyak 9,3 juta barel. Perusahaan juga menambah kuota impor 44 ribu metrik ton LPG sebanyak lima kali.
Menurut Nicke, tambahan impor itu akan disimpan sebagai cadangan pasokan untuk tahun depan saat kondisi mulai membaik. Pertamina memprediksi permintaan bahan bakar minyak akan kembali meningkat pada pertengahan 2021. Perseroan memprediksi penjualan rata-rata harian bensin dan solar akan turun hingga 20 persen tahun ini.
Nicke menyatakan impor minyak akan didatangkan secara bertahap. Pertamina memantau pergerakan harga setiap hari untuk mendapatkan harga terbaik. "Kami pernah mendapatkan harga gasoline US$ 22,5 per barel saat crude US$ 24," kata dia.
Pembelian bertahap juga sengaja dilakukan untuk mengatur tempat penyimpanan tambahan minyak. Pertamina akan mengutamakan tempat penyimpanan miliknya sendiri dengan mengatur lifting per tiga bulan sekali. Perusahaan juga memanfaatkan storage kontraktor kontrak kerja sama milik pemerintah. "Kami tidak berencana menambah storage yang harus kami bayar lagi agar tidak ada biaya tambahan," ujar Nicke. Dia juga mengaku tak melirik floating storage lantaran harganya yang melambung tinggi.
Dengan adanya tambahan produk impor, Pertamina akan mengerem produksi di sejumlah kilang. Pada Mei mendatang, perusahaan menurunkan kapasitas pengolahan minyak mentah sebesar 43 persen dari kapasitas total pengolahan sebesar 4,7 juta kiloliter.
Nicke menyatakan keputusan menggenjot impor juga ditujukan untuk menurunkan harga pokok penjualan produk. Meski begitu, harga jual eceran BBM tidaklah serta-merta bisa menurun. Pasalnya, perusahaan harus menutup biaya operasional yang tak sebanding dengan harga jual produk.
Pertamina tak dapat menghentikan semua kegiatan di hulu, salah satunya untuk mempertahankan tenaga kerja. "Secara garis besar, formula harga BBM ditetapkan oleh Kementerian ESDM," ujar Nicke.
Penurunan harga minyak dunia memicu desakan terhadap penurunan harga BBM. Salah satunya datang dari Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN). "Idealnya, penurunan harga minyak dunia ini juga sejalan dengan penurunan harga BBM di dalam negeri," ujar Ketua DPP KSPN Muhammad Ichsan. Menurut dia, penurunan harga BBM dapat membantu meringankan beban pekerja.
Peneliti ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Tallatov, menyatakan pemerintah perlu mencermati penetapan harga BBM di tengah kondisi saat ini. "Dalam jangka pendek mungkin bagus, namun dikhawatirkan terjadi shock inflation ketika harga kembali melonjak," ujar dia. Dia menilai belum ada urgensi untuk menurunkan harga BBM saat ini. Pasalnya, penyesuaian itu tidak menjamin harga barang lainnya turut turun.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menilai penurunan harga BBM tetap dibutuhkan saat ini. Dia memantau adanya penurunan aktivitas transportasi lantaran pembatasan kegiatan untuk mencegah penyebaran Covid-19. "Pertamina tetap dapat memberikan bantuan stimulus dengan menurunkan harga BBM untuk kendaraan logistik," kata dia. VINDRY FLORENTIN
Pertamina Genjot Impor Minyak