JAKARTA – Sebagian kalangan perbankan menilai langkah bank sentral menerbitkan kebijakan untuk menangkal pelemahan akibat virus corona belum cukup untuk menggairahkan dunia usaha. Sederet langkah itu harus diikuti oleh sinergi kebijakan antara Bank Indonesia dan regulator lainnya, termasuk yang berkaitan dengan kebijakan fiskal.
"Bila BI saja yang memberikan pelonggaran belum cukup. Likuiditas dan suku bunga bukan satu-satunya yang bisa meningkatkan permintaan kredit," ujar Presiden Direktur PT Bank Mayapada International Tbk Hariyono Tjahjarijadi kepada Tempo, kemarin.
Apalagi, dia menambahkan, penyebaran infeksi virus corona yang merebak dari Wuhan, Cina hingga ke Indonesia diproyeksikan akan semakin menggerus permintaan kredit dunia usaha. "Saat ini semua bisnis sudah terdampak, baik secara langsung maupun tidak langsung," tutur dia.
Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia telah menerbitkan serangkaian paket kebijakan. Beberapa di antaranya ditujukan untuk tetap memacu kinerja intermediasi perbankan, di tengah merebaknya corona. Kebijakan yang dimaksud adalah penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia 7-Days Reverse Repo Rate ke level 4,75 persen, serta pelonggaran rasio giro wajib minimum (GWM) valuta asing dan rupiah.
Menurut Hariyono, sektor perbankan akan terus mewaspadai seberapa besar pengaruh corona terhadap penurunan kredit secara keseluruhan. "Kami memproyeksikan kredit 2020 akan berada di kisaran 7–8 persen," ujar dia. Proyeksi ini lebih rendah dari sebelumnya yang mencapai 10–12 persen.
Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Ryan Kiryanto menilai, agar pelonggaran kebijakan moneter oleh bank sentral berjalan efektif, kebijakan fiskal yang akomodatif juga diperlukan. "Bola kini ada di pelaku usaha. Apakah mereka terpacu untuk ekspansi atau tidak di tengah perlambatan ekonomi global dan domestik," kata dia.
Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Royke Tumilaar, mengatakan dampak pelonggaran kebijakan moneter, seperti penurunan rasio GWM rerata valuta asing menjadi 4 persen, sebenarnya akan menambah likuiditas perbankan sekitar US$ 3,2 miliar. "Ini akan membantu perbankan untuk melakukan kegiatan operasional dan memenuhi kebutuhan valuta asing nasabah," ucap Royke.
Adapun penurunan GWM rerata rupiah menjadi 5 persen akan membantu likuiditas perbankan dalam mengantisipasi kebutuhan Ramadan dan Idul Fitri, juga musim pembayaran dividen pada triwulan II 2020.
Selain pelonggaran kebijakan moneter, stimulus diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengantisipasi pelemahan kinerja debitor dalam membayar kewajiban kredit. Stimulus tersebut berupa pelonggaran penghitungan kolektabilitas debitor dari sektor yang terkena dampak corona, dari tiga pilar menjadi hanya satu pilar, untuk pinjaman dengan plafon sampai Rp 10 miliar. "Restrukturisasi bisa jadi lancar dari kurang lancar untuk debitor yang terdampak," ujar juru bicara OJK, Sekar Putih.
Direktur Utama PT Bank Mayora, Irfanto Oeij, mengatakan kelonggaran kolektabilitas kredit tersebut perlu dilihat secara mendalam sesuai dengan kondisi masing-masing bank. "Di kami sendiri belum berpengaruh signifikan, karena baru satu debitor yang mengajukan rescheduling terkait dengan usahanya yang terpengaruh virus corona," kata Irfanto.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, menuturkan beberapa sektor ekonomi rentan terkena dampak corona. Sektor tersebut di antaranya adalah transportasi, akomodasi, manufaktur, perdagangan, pertanian, dan pertambangan. "Hal ini seiring dengan konektivitas sejumlah sektor itu dengan negara yang terdampak paling signifikan, yaitu Cina," ujar dia. Untuk itu, pelonggaran yang diberikan OJK diharapkan dapat mengantisipasi terjadinya lonjakan rasio kredit macet perbankan. GHOIDA RAHMAH
Virus Wuhan Kikis Permintaan Kredit Dunia Usaha