JAKARTA – Wacana pengalihan kewenangan perizinan pertambangan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat berpotensi menambah masalah. Kebijakan yang rencananya tertuang dalam rancangan omnibus law Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja ini dianggap bertentangan dengan semangat otonomi daerah.
Peneliti Auriga Nusantara, Iqbal Damanik, menyatakan salah satu persoalan yang timbul akibat pengalihan kewenangan itu adalah lemahnya pengawasan. "Pengalihan ke pusat semakin menjauhkan rentang pengawasan terhadap aktivitas usaha," kata dia, kemarin. Dia mempertanyakan kesanggupan pemerintah dalam mengawasi banyaknya perizinan. Pasalnya, selama ditangani pemerintah daerah pun masalah pengawasan tersebut belum dapat diatasi.
Iqbal mencontohkan dampak peralihan kewenangan perizinan pertambangan dari pemerintah kabupaten dan kota ke pemerintah provinsi. Peralihan itu salah satunya menghambat penertiban izin usaha pertambangan (IUP) yang masuk kategori clear and clean. Belum lagi minimnya jumlah inspektur tambang yang bertugas mengawasi langsung kepatuhan pemegang izin.
Konflik antara pemerintah daerah dan pusat pun diprediksi meningkat. Dalam peralihan wewenang, Iqbal menyatakan, tetap ada ruang pelimpahan kuasa kepada pemerintah daerah. Namun hal ini bukan bersifat delegatif, melainkan atributif. Dampaknya, pemerintah sewaktu-waktu dapat menerbitkan izin tanpa melibatkan pemerintah daerah atau menarik kewenangan penerbitan izin di daerah. Perseteruan ini dapat mempengaruhi kepastian usaha bagi investor.
Menurut Iqbal, kewenangan pertambangan di tangan pemerintah pusat juga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Dia menyoroti pemegang jabatan di sejumlah kementerian yang memiliki relasi dengan perusahaan tambang.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Laode Ida, mengingatkan pemerintah berhati-hati saat mengalihkan kewenangan dari daerah ke pusat. Desentralisasi dibentuk dengan harapan layanan serta aspirasi publik lebih mudah diakses. "Kalau semuanya sudah di pusat, ini sudah menyalahi prinsip reformasi. Ini ancaman re-sentralisasi," kata dia.
Laode menyoroti kewenangan pemerintah daerah, terutama dalam hal analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Bersama masyarakat, pemerintah daerah harus mengkaji risiko investasi yang akan didirikan di wilayahnya dan memberikan persetujuan. "Kalau itu dilanggar dengan kewenangannya diberikan ke pusat, bagaimana nanti nasibnya negara ini?" ujar dia.
Rencana pemerintah mengambil alih kewenangan dari daerah bukan tanpa alasan. Selama ini, perizinan di daerah sering kali dikeluhkan pengusaha lantaran menghambat investasi, dari aturan yang tumpang tindih hingga lamanya proses mendapat izin. Pada November 2019, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menemukan 347 dari 1.109 peraturan daerah yang bermasalah dan diduga menghambat investasi di daerah.
Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian, Susiwidjono, menyatakan omnibus law dirancang untuk mempercepat investasi. Salah satunya adalah memperbaiki perizinan di daerah. VINDRY FLORENTIN
Peralihan Perizinan ke Pemerintah Pusat Tak Jamin Investasi