JAKARTA - Rapor perdagangan Indonesia selama 2019 semakin buruk di tengah isu perang dagang dunia yang berkepanjangan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat realisasi ekspor dan impor setahun terakhir berapor merah. "Kami semua sepakat ekspor barang ke depannya harus diubah karena masih berbasis komoditas," kata Kepala BPS Suhariyanto, kemarin.
Berdasarkan data BPS, aktivitas ekspor sepanjang tahun lalu turun menjadi US$ 167,53 miliar dari US$ 180,6 miliar pada 2018. Suhariyanto mengatakan, berdasarkan kategori, penurunan ekspor terjadi di tiga dari empat kategori utama, yakni industri pengolahan, minyak dan gas, serta tambang. Ketiga sektor tersebut masing-masing menyumbang 75,55 persen, 14,81 persen, dan 7,48 persen. "Yang naik cuma pertanian, yang menyumbang 2,16 persen dari total ekspor," kata dia.
Walhasil, meski harga komoditas kepala sawit mengalami kenaikan hingga 12 persen, Suhariyanto mengatakan ada beberapa penyebab ekspor turun, antara lain perlambatan ekonomi negara tujuan ekspor komoditas Indonesia, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Cina. "Ada tiga negara tujuan ekspor utama, tapi ada ratusan negara mitra lainnya," kata dia.
Meski begitu, Suhariyanto mengatakan secara total neraca perdagangan Indonesia cukup baik lantaran defisit perdagangan pada 2019 turun dari US$ 8,6 miliar menjadi US$ 3,2 miliar. Realisasi impor tahun lalu berada di angka US$ 170,72 miliar.
Berdasarkan rangkuman perdagangan ekspor tahunan tersebut, ekspor Indonesia di sektor industri pengolahan masih berpeluang. Perdagangan internasional nonmigas dengan Amerika Serikat, misalnya, bisa bertambah bagus dengan realisasi surplus US$ 8,5 miliar menjadi US$ 9,5 miliar pada 2019.
Loyonya aktivitas produksi industri pengolahan di dalam negeri sebelumnya sudah terlihat dari realisasi penerimaan negara dari perpajakan. Menurut laporan realisasi APBN 2019, realisasi penerimaan pajak sektor industri pengolahan minus 1,8 persen dengan Rp 365,39 triliun. Pun dengan sektor perdagangan dan pertambangan yang longsor 2,7 persen dan 70 persen. "Sektor yang positif hanya pergudangan dan transportasi," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Untuk membenahi industri dalam negeri dan perdagangan internasional negara, Presiden Joko Widodo memerintahkan para pembantunya di kabinet untuk segera merampungkan kebijakan kemudahan investasi dan perizinan. Aturan berupa undang-undang baru yang menggantikan undang-undang sebelumnya bakal memanjakan dunia usaha dengan diskon pajak, kemudahan perizinan dan perlahanan, serta tenaga kerja murah.
Selain itu, Presiden mengingatkan agar duta negara yang menduduki jabatan diplomatik negara, seperti duta besar, turut memperkuat promosi dagang produk Indonesia di tempat penugasannya. "Nanti rapor peningkatan perdagangan juga jadi salah satu nilai penting apakah dubes perlu diganti atau tidak," katanya.
Peneliti di Institute for Development of Economics and Finance, Berly Martawardaya, mengatakan rencana pemerintah menerabas ribuan peraturan untuk memanjakan dunia usaha perlu memberi kepastian terhadap industri dalam negeri. "Jangan nanti asing semua, perlu juga pemberdayaan usaha kecil-menengah dalam negeri," kata dia. "Thailand yang ekspornya besar saja, peran UKM-nya 29,5 persen." EGI ADYATAMA | ANDI IBNU
Kinerja Ekspor Selama 2019 Jeblok