JAKARTA - Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, mengatakan defisit neraca perdagangan pada September lalu menjadi indikator kuat perlambatan ekonomi hingga akhir tahun. Menurut dia, hal tersebut terlihat dari peningkatan impor minyak dan gas tanpa diimbangi peningkatan ekspor. "Dari sisi nonmigas juga terlihat ada tekanan terhadap industri dalam negeri dan peningkatan persaingan di pasar domestik," kata dia kepada Tempo, kemarin.
Badan Pusat Statistik menyatakan neraca perdagangan pada September 2019 mengalami defisit US$ 0,16 miliar. Nilai ekspor tercatat US$ 14,1 miliar, turun dari bulan sebelumnya yang mencapai US$ 14,28 miliar. Sedangkan impor mencapai US$ 14,26 miliar, naik dari bulan sebelumnya US$ 14,20 miliar. Dengan demikian, defisit Januari-September mencapai US$ 1,95 miliar.
Menurut BPS, impor barang konsumsi naik (secara bulanan) sebesar 3,13 persen dan 6,09 persen (secara tahunan). Namun impor bahan baku turun 0,70 persen (secara bulanan) dan 5,92 persen (secara tahunan).
Shinta mengatakan peningkatan impor barang konsumsi menunjukkan ketatnya persaingan antara produk domestik dan impor. Hal ini, kata dia, berdampak pada kinerja industri dalam negeri. "Terlihat dengan melambatnya impor bahan baku yang menjadi elemen produksi barang dan jasa sepanjang kuartal ketiga tahun ini," ujar dia.
Kepala BPS, Suhariyanto, mengatakan neraca perdagangan juga dipengaruhi oleh fluktuasi harga komoditas, seperti batu bara dan kelapa sawit. Nilai ekspor keduanya turun masing-masing 8,78 persen dan 18,76 persen. Padahal, kata dia, volume ekspor keduanya naik jika dihitung secara tahunan. "Ini akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi."
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, mengatakan pertumbuhan ekonomi terus menurun sejak perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina memanas. Menurut dia, pemerintah telah meneliti kinerja ekspor 95 negara pada Januari-Agustus 2019. Hasilnya, 62 negara mengalami penurunan ekspor, termasuk Indonesia. "Jadi, penyebabnya permintaan global yang turun," kata dia.
Namun Iskandar mengatakan pemerintah tetap optimistis pertumbuhan ekonomi bisa menembus 5 persen. Sebab, kata dia, kontribusi ekspor dan impor terhadap produk domestik bruto masih berada di kisaran 17-18 persen. "Pengaruh ekspor turun memang ada, tapi tidak besar karena impor juga turun."
Direktur Riset Center of Reform on Economics, Piter Abdullah Redjalam, menuturkan defisit neraca perdagangan September di luar perkiraan. Jika melihat tren tahun sebelumnya, seharusnya impor melambat. Namun upaya mendorong ekspor, kata dia, masih sulit dilakukan. Meski neraca perdagangan defisit, Piter menilai pemerintah bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan investasi. LARISSA HUDA
Industri Tertekan, Ekspor Lesu