JAKARTA - Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (SDA) kemarin. Namun kelompok sipil menilai undang-undang baru ini tak menjawab sejumlah isu penting dalam pengelolaan sumber daya air.
Direktur Center for Regulation, Policy, and Governance, Mohamad Mova Al’Afghani, menyoroti isi Undang-Undang SDA yang dinilai tak menjabarkan detail sejumlah ketentuan dan lebih banyak mengamanatkan pembentukan aturan turunan berupa peraturan pemerintah. "Banyak isu yang harus dibahas, seperti kapan swasta mulai bisa masuk mengelola air," kata Mova kepada Tempo, kemarin.
Selain itu, dia mengatakan, Undang-Undang Sumber Daya Air belum menjelaskan nasib pengelola air minum mandiri yang banyak berdiri di daerah pelosok. Mova menuturkan pengelola air minum mandiri biasanya didirikan oleh kelompok masyarakat, koperasi, hingga yayasan, sehingga tak masuk kategori badan usaha yang diizinkan mengelola air minum.
Undang-Undang SDA mengatur izin pengelolaan air minum diberikan kepada negara melalui badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik desa. Swasta tetap bisa berpartisipasi dengan beberapa persyaratan. Kebijakan ini diklaim sebagai upaya mencegah dominasi swasta.
Dominasi swasta menjadi salah satu pemicu kelompok masyarakat mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Sumber Daya Air ke Mahkamah Konstitusi pada 2013. Dua tahun kemudian, MK memutuskan gugatan ini dengan membatalkan aturan tersebut dan memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pengairan-berisi sejumlah batasan pengelolaan air- untuk mengisi kekosongan hukum. Pemerintah dan DPR pun menyusun ulang RUU Sumber Daya Air, yang akhirnya mulai dibahas pada 2017 hingga disahkan kemarin.
Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Wahyu Perdana, menilai 16 bab dengan 79 pasal dalam Undang-Undang SDA masih bersifat parsial dan hanya memandang air sebagai komoditas. Walhasil, undang-undang ini tak mengakomodasi asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH), termasuk dalam hal perbaikan ekosistem air yang telah rusak. "Padahal dalam PPLH diatur pertanggungjawaban mutlak untuk kerugian dan pemulihan lingkungan yang rusak," ujarnya.
Ketua Komisi V DPR Fary Djemy Francis mengklaim UU Sumber Daya Air telah secara tegas melarang privatisasi air dengan memberikan hak pemanfaatan air minum kepada BUMN, BUMD, atau BUMDes. "Kalau sumber daya airnya masih tersisa, bisa diberikan ke swasta, tapi bukan untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari," kata Fary.
Dia mencontohkan pemanfaatan sumber air untuk industri air minum dalam kemasan (AMDK). Perusahaan, kata Fary, dapat tetap memperoleh izin pengelolaan dengan syarat kebutuhan pokok sehari-hari serta kebutuhan publik seperti pertanian sudah terpenuhi. Perusahaan juga membayar biaya konservasi sumber daya alam. Setiap sumber daya alam yang dimiliki swasta wajib dibuka aksesnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan, Rachmat Hidayat, mengapresiasi isi undang-undang ini. "Pemerintah sudah membedakan AMDK dengan air pipa," ujarnya. Dia memastikan pengusaha bersedia membuka akses sumber daya air bagi masyarakat. Rachmat juga berharap pemerintah akan mendengarkan aspirasi pengusaha dalam penyusunan peraturan turunan undang-undang ini.
Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Hari Suprayogi, menyatakan pemerintah segera menjadwalkan pertemuan untuk menyusun aturan turunan tersebut. "Langsung segera mulai," kata dia. VINDRY FLORENTIN
UU Sumber Daya Air Dinilai Abaikan Banyak Isu Krusial