Bisnis kopi sedang naik daun, baik di dalam maupun di luar negeri, dan bakal makin meningkat pada tahun depan. Di dalam negeri, kemajuan bisnis kopi specialty atau berkualitas tinggi terlihat dari peningkatan permintaan dari kafe atau warung kopi modern di kota-kota besar.
Irvan Helmi, salah satu pendiri Anomali Coffee, pionir kafe penjaja kopi specialty, mengatakan pada saat awal berdiri pada 2007 hanya mampu menjual 15 kilogram per bulan. "Kini penjualannya meningkat menjadi 7 ton per bulan," katanya kepada Tempo, awal Oktober lalu.
Pesanan kopi tersangrai atau roasted bean milik Kasmito Tina, pendiri Maharaja Kopi, juga berlimpah. Ketika Maharaja baru berdiri, Kasmito hanya memanggang 5 kilogram per bulan. Namun sekarang Maharaja mampu melego 3,5 ton per bulan.
Segmen konsumennya juga bergeser. Awalnya, kopi Maharaja dipasok ke supermarket. Tapi kini pesanan didominasi kafe. Sampai sekitar 80 persen dari penjualan disorongkan ke kafe. "Suplai kami ke supermarket banyak yang kosong," ucap Kasmito.
Kopi specialty produksi Tanah Air sedang digandrungi di pasar global. Dalam lelang yang diselenggarakan Specialty Coffee Association of America di Georgia, Amerika Serikat, 17 kopi asal Indonesia terjual dengan harga tertinggi. Pencetak rekornya adalah kopi dari Gunung Puntang, Jawa Barat, yang dihargai US$ 55 atau sekitar Rp 750 ribu per kilogram.
Menurut Ketua Asosiasi Kopi Specialty Indonesia (AKSI) Ahmad Syafrudin, pada perdagangan reguler, kopi Indonesia selalu dihargai di atas harga pasar yang tercatat di Bursa Kopi New York. Di pasar domestik, kopi specialty tumbuh rata-rata 20 persen per tahun.
"Kenaikan itu didukung oleh menjamurnya jumlah kafe yang menjajakan kopi specialty," ucapnya. Kafe-kafe itu tersebar di kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Bali, Medan, Makassar, serta Palembang.
Gencarnya permintaan domestik, menurut Slamet Prayoga, pengusaha kopi specialty Gunung Malabar, terjadi karena masyarakat lokal sudah doyan kopi berkualitas. Dia bercerita tentang meningkatnya omzet MM Cafe miliknya di Bogor, yang kini menembus Rp 2 juta per hari. Padahal, waktu pertama kali dibuka pada 2013, pendapatannya hanya Rp 500 ribu sehari.
Kopi Malabar milik Yoga bahkan sudah "mengangkasa". Kopi celup varian arabika single origin itu dijual Rp 6.500 per sachet oleh PT Sinar Mayang Lestari, pemilik merek dagang Malabar Mountain Coffee. Saat tersaji di kabin AirAsia, harganya dibanderol Rp 25 ribu secangkir.
Yoga menceritakan, permintaan kopi jenis Java Preanger miliknya mencapai 8 ton per bulan. Sementara produksinya hanya 3 ton. Karena pasokan tak sebanding dengan permintaan, Yoga menghentikan ekspor kopi sejak tahun lalu dan menolak permintaan kafe domestik.
Yoga berencana menambah produksi kopinya hingga 72 ton tahun depan. Namun dia tetap pesimistis bisa memenuhi permintaan.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang mengakui produktivitas kopi arabika masih rendah. Tahun lalu, produksinya hanya 24 persen dari total produksi kopi nasional 664.460 ton. Sisanya, dikuasai kopi robusta. Dia memperkirakan, konsumsi kopi arabika berkualitas tahun depan naik hingga 15 persen. Pemerintah berencana menggenjot produksi hingga 40 persen pada 2045. Tempo Newsroom
Produksi Kopi Indonesia | (ton) |
Sumatera | 460.632 |
Kalimantan | 6.652 |
Sulawesi | 47.551 |
Maluku dan Papua | 2.751 |
Jawa | 104.731 |
Nusa Tenggara dan Bali | 42.143 |
Total | 664.460 |