Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Muliaman Hadad memandang tahun 2016 dan 2017 dengan optimistis. Ia menilai Indonesia bisa menyongsong tahun mendatang dengan pertumbuhan melebihi target yang ditetapkan pemerintah, yaitu 5,2 persen. Meskipun kelesuan ekonomi global masih terasa, Muliaman mengatakan Indonesia bisa mengandalkan pergerakan ekonomi domestik.
Wartawan Tempo, Reza Maulana, mewawancarai Muliaman pada Rabu dua pekan lalu di kendaraan dinasnya yang melaju meninggalkan kantor OJK di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, menuju Hotel JW Marriott, Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Berikut ini petikannya.
Bagaimana kondisi ekonomi Indonesia tahun depan?
Tahun 2017 masih merupakan tahun yang tidak mudah, karena pertumbuhan ekonomi global belum ada tanda-tanda perbaikan signifikan. Tantangan kita tahun depan tetap pada kemampuan mengoptimalkan potensi ekonomi domestik. Ketika kita bicara ekonomi domestik, bagi saya, yang terkait dengan industri keuangan, intinya adalah memberdayakan peran lembaga keuangan di Indonesia agar mendukung peningkatan aktivitas ekonomi dalam negeri.
Ekonomi kita lebih baik daripada negara mana saja?
Dibandingkan dengan Brasil, Turki, Argentina, dan sebagainya, kita dalam posisi yang lebih baik sehingga Indonesia tetap berpotensi menjadi tujuan investasi di kalangan negara emerging market. Karena itu, menurut saya, kita masih bisa berharap pertumbuhan ekonomi 2017 lebih tinggi daripada 2016. Pemerintah memperkirakan pertumbuhan tahun depan 5,2 persen, tapi saya memperkirakan angkanya bisa lebih dari itu.
Bisa mencapai berapa?
Agak sulit menyebut angka, tapi bisa lebih tinggi daripada 5,2 persen. Asalkan kita bisa optimal memberdayakan potensi domestik dan melanjutkan berbagai reformasi dan transformasi yang menyederhanakan investasi.
Pemerintahan Joko Widodo mengarah ke sana?
Kita sudah menempuh langkah-langkah yang pas. Ketika Pak Jokowi mulai memerintah, pertumbuhan ekonomi global sedang dalam tahap penurunan. Jadi, kita dihadapkan pada pelemahan permintaan, pelemahan ekspor, dan sebagainya. Maka, sejak awal, Pak Presiden dan Wakil Presiden menggagas upaya membangkitkan potensi ekonomi domestik, seperti memotong peraturan daerah yang tidak bermanfaat dan menyederhanakan proses perizinan. Ini perlu terus dilakukan selama 2017, sejalan dengan belum membaiknya pemulihan ekonomi dunia secara signifikan. Cina masih punya hambatan, Jepang sama saja, Eropa juga sama sehingga keinginan kita memberdayakan ekonomi dalam negeri perlu mendapat prioritas.
Jadi, kita bertumpu pada sektor domestik?
Itu jadi kekuatan. Karena itu, ada 13 paket (kebijakan ekonomi) yang sudah dikeluarkan. Substansi semua itu adalah perbaikan iklim investasi. Saya melihat tax amnesty tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari paket respons pemerintah menghadapi lemahnya pertumbuhan ekonomi global. Jadi, kita on the right track.
Saya bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo baru pulang dari sidang tahunan Bank Dunia dan International Monetary Fund di Washington, DC, Amerika Serikat. Hal yang menjadi perhatian para pemimpin dunia adalah pertumbuhan ekonomi global yang terlalu rendah ini sudah berlangsung terlalu lama dan hanya menguntungkan segelintir orang sehingga semakin meningkatkan ketimpangan. Maka financial inclusion menjadi salah satu jawaban.
Dampak paket kebijakan sudah terasa?
Mulai terasa secara bertahap. Di daerah mungkin lebih terasa. Proyek infrastruktur di daerah membuat perekonomian menggeliat. Mungkin kapasitasnya memang segitu, tapi bisa bertambah kalau ekspor-impornya juga berjalan.
Bagaimana cara mendorong keuangan inklusif itu?
Hambatan selama ini adalah akses keuangan yang sulit, terutama bagi pengusaha mikro dan kecil. Kalau akses dipermudah, hal itu akan sangat membantu memberdayakan ekonomi dalam negeri. Ada lebih dari 50 juta usaha mikro, kecil, dan menengah di Indonesia. UMKM itu digerakkan sekitar 90 persen pelaku ekonomi domestik. Jadi, kalau kita selesaikan sebagian persoalan mereka, bisa memberi energi baru perekonomian.
Bagaimana cara efektif mengelola dana yang masuk dari program pengampunan pajak?
Satu hal penting dalam tahap lanjutan tax amnesty adalah memantau dana masuk, terutama repatriasi. Menurut undang-undang, dana itu harus tinggal di Indonesia minimal tiga tahun. Selain ada aspek monitoring, ada tantangan untuk mengalokasikannya ke proyek-proyek produktif. Kami mengagendakannya pada 2016 dan 2017, terutama memastikan dana yang masuk melalui bank-bank gateway bisa dipantau. Sebab, pemilik dana tidak hanya ingin masuk ke surat berharga, tapi juga ke sektor riil. OJK akan mendengar masukan soal mekanisme yang lebih sederhana dan efektif agar keinginan dan minat repatriasi bisa lebih besar. Menurut angka terakhir, dana repatriasi sudah mencapai Rp 163 triliun.
Besarnya dana masuk akan mempengaruhi tingkat suku bunga?
Sangat berpengaruh. Paling tidak, likuiditas akan terbantu. Ketika likuiditas terbantu, bunga bisa lebih kami tekan.
Jadi, proyeksi suku bunga tahun depan bisa lebih rendah dari BI 7-Day Repo Rate yang sekarang di level 5 persen?
Keinginan bunga lebih rendah selalu ada. Bunga single digit sekarang sudah terpenuhi. Artinya, lingkungan sudah sangat mendukung. Inflasi sudah ditekan rendah. Likuiditas secara keseluruhan juga banyak. Dengan situasi seperti ini, kita harap tingkat bunga tahun depan bisa lebih rendah.
Bagaimana dengan rasio kredit macet? Ada yang bilang bisa naik dua kali lipat.
Tidak. Ini saya bawa datanya. Non-performing loan (NPL) Agustus, secara year-to-date, 3,1 persen. Cuma naik sedikit. Cara melihatnya begini. NPL dilihat dari kemampuan bank memitigasi risiko kredit. Maka, kami berfokus pada NPL nett, yaitu NPL gross dikurangi pencadangan yang disediakan bank. NPL nett tidak berubah, masih tetap 1,5 persen, jauh di bawah 5 persen. Jadi, NPL gross 3,1–3,2 persen, NPL nett 1,4–1,5 persen. Tidak ada kenaikan dua kali lipat.
Muliaman Darmansyah Hadad
Tempat dan tanggal lahir: Bekasi, Jawa Barat, 3 April 1960
Pendidikan:
• Sarjana Ekonomi dari Universitas Indonesia (1984)
• Master Administrasi Publik dari John F. Kennedy School of Government, Harvard University (1991)
• Doktor Bisnis dan Ekonomi dari Monash University, Melbourne (1996)
Karier:
• Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (2012–sekarang)
• Deputi Gubernur Bank Indonesia (2006–2012)
• Direktur Riset dan Regulasi Perbankan Bank Indonesia (2005–2006)
Organisasi:
• Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (2015–2018)
• Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah (2015–2018)