JAKARTA -- Wakil Ketua Panitia Kerja Anggaran Komisi Keuangan dan Perbankan, Dewan Perwakilan Rakyat, Arif Budimanta, mempertanyakan surplus anggaran Bank Indonesia pada 2008.
Menurut dia, selama ini laporan keuangan BI hampir selalu defisit. Anggaran BI pada 2009 dan 2010 juga diprediksi akan mengalami defisit. Namun, saat terjadi krisis keuangan global pada 2008, BI mengalami surplus anggaran hingga Rp 17 triliun.
"Anomali saja, di tahun 2008 itu karena sedang krisis secara global tapi neraca bank sentral surplusnya malah tinggi," ujar Arif pada Kamis lalu. "Kami lagi nunggu data yang lebih komprehensif berkaitan dengan neraca keuangan BI," ujarnya.
Kepala Ekonom Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan menilai surplus yang dialami BI pada 2008 bukanlah sesuatu yang aneh, terutama bila jelas perincian pengeluaran dan penerimaannya.
"Harus dilihat dulu kenapa bisa surplus karena ada banyak hal yang bisa menyebabkan surplus dan defisit. Tidak jadi masalah apakah keadaan sedang krisis atau normal," ujar Fauzi saat dihubungi Tempo kemarin.
Menurut Fauzi, salah satu hal yang mungkin mengakibatkan surplus neraca BI adalah karena neraca BI dihitung dalam rupiah, sementara cadangan devisa Indonesia dalam dolar Amerika Serikat. Saat krisis pada 2008, nilai tukar rupiah melemah dan dolar Amerika menguat. Sehingga walaupun terjadi penurunan devisa, karena nilai dolar Amerika meningkat, devisa dalam rupiah pun meningkat. "Kalau neraca dihitung dalam dolar AS, bisa saja jadi rugi," ujarnya.
Berdasarkan Laporan Keuangan Tahunan BI pada 2008, yang dipublikasikan di situsnya, total penerimaan BI sekitar Rp 45,3 triliun. Sebesar Rp 40,2 triliun berasal dari pengelolaan devisa. Sedangkan jumlah beban yang harus dikeluarkan Rp 28,08 triliun sehingga BI mengalami surplus sebesar Rp 17,24 triliun.
Laporan Keuangan Tahunan Bank Indonesia Tahun 2008 ini memperoleh "pendapat wajar tanpa pengecualian" dari Badan Pemeriksa Keuangan. Nalia Rifika