Kisruh Pembatasan Barang Bawaan dari Luar Negeri
Aturan batas barang bawaan penumpang dari luar negeri balik ke regulasi lama. Contoh kebijakan absurd.
BARU sebulan berlaku, pemerintah mengembalikan regulasi batas barang bawaan penumpang dari luar negeri ke aturan lama setelah dihujat publik. Membuat aturan sembarangan dan latar belakangnya tak jelas rupanya menjadi ciri khas pemerintahan Presiden Joko Widodo selama sepuluh tahun.
Hujatan publik bermula ketika Menteri Perdagangan menerbitkan Peraturan Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang kebijakan dan pengaturan impor yang berlaku mulai 10 Maret 2024.
Sebelumnya, pembatasan barang bawaan dari luar negeri mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.04/2017 tentang ketentuan ekspor dan impor barang yang dibawa penumpang dan awak sarana pengangkut. Setiap penumpang bebas membawa barang—kecuali barang berbahaya dan terlarang. Barang-barang itu juga bebas bea masuk serta pajak impor selama nilainya tak lebih dari US$ 500 per orang, tak lebih dari 200 batang sigaret, 25 batang cerutu, 100 gram tembakau iris, dan 1 liter minuman beralkohol.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengubah pembatasan tak lagi berdasarkan nilai barang, melainkan berdasarkan jenis dan jumlahnya dalam perjalanan selama setahun. Zulkifli membatalkan Peraturan Nomor 3/2024 tersebut pada 16 April 2024 dengan menerbitkan Peraturan Nomor 7/2024 pada 29 April 2024 yang berlaku pada 6 Mei 2024. Pembatasan barang bawaan penumpang kembali ke Peraturan Menteri Keuangan 203/PMK.04/2017.
Revisi peraturan setelah dihujat publik menunjukkan pemerintah tak punya keterpaduan membuat regulasi antarkementerian. Peraturan juga dibuat tanpa memikirkan cara melaksanakannya. Bagaimana bisa membatasi barang bawaan penumpang dari luar negeri berdasarkan jenis dan jumlah? Aturan ini hanya memberi diskresi kepada petugas bea dan cukai membongkar tas setiap penumpang dengan dalih memeriksa barang bawaan.
Setiap peraturan, apalagi yang disertai pungutan, mesti memiliki mekanisme komplain. Penumpang tahu cara melaporkan keluhan dengan mudah dan pembuat aturan menanganinya secara terstruktur. Selain tak memiliki semua mekanisme itu, aturan pembatasan barang bawaan dibatalkan setelah dihujat banyak orang. Setelah itu, dengan enteng pula, pemerintah merevisinya tanpa penjelasan yang masuk akal.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.04/2017 juga bukan tanpa cacat. Batas nilai barang bebas bea masuk dan pajak impor tak berubah sejak tujuh tahun lalu, US$ 500 per orang atau sekitar Rp 8 juta. Batasan ini jelas tak masuk akal. Pemerintah seperti ingin memoroti penumpang pesawat karena nilainya sangat rendah.
Batas barang bawaan memang harus diatur untuk melindungi industri dalam negeri. Tapi hanya memindai penumpang pesawat jelas tak adil. Sebab, barang impor dalam skala bisnis besar justru banyak masuk melalui pelabuhan. Direktorat Jenderal Bea Cukai sendiri yang mengatakan ada 1.500 pelabuhan tikus yang menjadi pintu masuk barang impor ilegal.
Ketimpangan perlakuan yang ditopang regulasi ini juga semakin terlihat ketika Menteri Keuangan membebaskan penalti nilai barang kepada petugas bea dan cukai. Diskresi ini yang membuat petugas semena-mena menetapkan denda, membuka celah suap, dan petugas leluasa menerapkan aturan dengan melihat status seseorang, seperti yang banyak terjadi hari-hari ini.
Dalam membuat aturan, seharusnya pemerintah membuka ruang sosialisasi dan publik punya kanal untuk menyalurkan pendapatnya. Selama ini, kita hanya mengandalkan media sosial untuk menyalurkan opini perihal sebuah kebijakan. Jika banyak orang mengamplifikasinya, pemerintah baru mendengarkan keluhan atau pendapat tersebut.
Maka, regulasi pembatasan barang impor yang berubah-ubah ini, tanpa prinsip dan latar belakang yang jelas serta mekanisme komplain yang memadai, menunjukkan satu masalah serius tentang manajemen pemerintahan. Selama sepuluh tahun kita terbiasa dengan bongkar-pasang regulasi. Publik terpaksa lebih awas dan memelototi setiap aturan agar tak merugikan di kemudian hari.
Ujung dari kekacauan ini adalah masyarakat yang punya tingkat kepercayaan rendah kepada pejabat, pemerintahan, dan birokrasi. Jika keadaan ini terus terjadi, bukan tidak mungkin pelan-pelan kita memasuki anomie, keadaan masyarakat yang tak memiliki ikatan dan modal sosial untuk saling percaya antarindividu, antara masyarakat dan penyelenggara negara.