Polisi perlu segera membongkar jaringan pelaku pengeboman di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, 28 Maret lalu. Upaya itu bukan semata untuk memberi keadilan kepada para korban, tapi juga untuk mencegah kejadian serupa di kemudian hari.
Polisi mengidentifikasi pelaku bom bunuh diri itu sebagai sepasang suami-istri yang menikah enam bulan lalu. Keduanya, menurut polisi, merupakan anggota Jamaah Ansharud Daulah (JAD), organisasi yang berafiliasi ke Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Pengeboman terjadi pada saat jemaat baru saja selesai melaksanakan misa Minggu Palma. Puluhan anggota jemaat mengalami luka-luka.
Ini merupakan serangan pertama oleh JAD setelah rangkaian teror terjadi di Surabaya, 13-14 Mei 2018. Kala itu, sedikitnya 15 orang tewas dan puluhan orang lainnya terluka akibat bom bunuh diri di tiga gereja. Selain itu, bom meledak di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo, dan di Mapolrestabes Surabaya.
Jika bom Makassar benar dilakukan pengikut JAD, nyatalah betapa berbahayanya organisasi itu. Pemimpin JAD, Aman Abdurrahman, memang sudah dihukum mati pada 22 Juni 2018 karena menjadi donor dan otak pengeboman di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta. Penerusnya, Zainal Anshori, juga ditangkap polisi. Namun, seperti amuba, anggota JAD terus membelah diri. Surutnya teror dalam dua tahun terakhir seharusnya tak membuat kita kehilangan kewaspadaan. Saat lengah, mereka bisa berulah.
Keterlibatan JAD dalam bom Makassar memunculkan tanda tanya perihal efektivitas pemberantasan teroris. Polisi memang telah menangkap sekitar 20 anggota JAD saat menggelar kajian di Perumahan Villa Mutiara Biru, Makassar, 6 Januari lalu. Polisi juga menembak mati dua anggota JAD yang mencoba melawan. Namun keterlibatan sepasang pengantin baru menunjukkan bahwa rekrutmen teroris terus berlangsung. Sel-sel teroris juga terus berkembang. Patut diduga polisi telah mengetahui jaringan pelaku, tapi gagal menangkal aksi teror mereka.
Strategi polisi memberantas terorisme harus dapat dikoreksi oleh pelbagai pemangku kepentingan. Selama ini, sulit bagi publik untuk menilai apakah yang dilakukan unit antiteror sudah tepat dan profesional atau tidak. Telah lama menjadi desas-desus: polisi mengidentifikasi kelompok teroris tapi membiarkan mereka bergerak ke mana-mana. Penangkapan baru dilakukan pada saat tertentu untuk kepentingan jangka pendek, misalnya mengalihkan isu. Ada rumor lain yang pernah terdengar: kasus teror terjadi dalam konteks persaingan antar-petinggi Polri.
Strategi libas habis dengan menembak mati para teroris juga hendaknya dievaluasi. Cemas akan bahaya terorisme merupakan satu hal. Namun membiarkan mereka hidup untuk mengetahui rencana serangan berikutnya adalah hal lain. Sejumlah pakar terorisme menilai para pelaku teror itu lebih berharga hidup daripada mati agar bisa dikorek keterangannya.
Kasus bom bunuh diri di Makassar juga hendaknya menjadi koreksi terhadap Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Benarkah strategi deradikalisasi yang mereka terapkan sudah tepat sasaran? Misalnya, upaya mempertemukan korban dengan pelaku teror dalam suasana kekeluargaan. Apakah kegiatan kemanusiaan itu bisa menyadarkan calon teroris agar urung beraksi ataukah hanya berdampak pada pelaku yang sudah insaf?
Pandangan bahwa para teroris itu tidak memiliki agama juga perlu ditinjau ulang. Sebab, realitasnya, pelaku teror adalah orang yang beragama tapi memiliki pemahaman yang keliru atas ajaran agamanya. Promosi Islam sebagai rahmat bagi alam semesta, termasuk bagi nonmuslim, perlu terus dilakukan. •