TINDAKAN polisi menjemput paksa mereka yang dituduh menyebarkan kabar bohong di Internet, lalu memaksanya meminta maaf, bukan hanya keliru, tapi juga berbahaya. Ini berarti implementasi konsep polisi virtual yang diperkenalkan Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo justru membatasi ruang kebebasan berekspresi yang dilindungi konstitusi.
Korban terbaru patroli polisi virtual ini adalah seorang pemuda bernama Arkham Mukmin. Warga Slawi, Jawa Tengah, itu dijemput di rumahnya pada pekan lalu dan dipaksa meminta maaf kepada Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka di kantor polisi. Menurut polisi, cuitan Arkham di akun Instagram-nya masuk kategori hoaks. Padahal dia hanya mengkritik rencana Gibran menggelar babak final pertandingan sepak bola Piala Menpora di Solo.
Aksi polisi menjemput pemilik akun media sosial yang mengkritik pemerintah jelas bakal menimbulkan trauma di kalangan pengguna media sosial. Patroli polisi virtual mengawasi konten di media sosial kini justru menjelma menjadi teror yang membatasi hak warga untuk berpendapat dengan bebas. Jika hal itu tak segera dikoreksi, atmosfer ketakutan untuk beropini bisa meluas di khalayak ramai.
Tim Siber Polresta Solo berdalih tindakan Arkham mengkritik Gibran merupakan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Karena itu, dengan memaksa Arkham sebatas meminta maaf, polisi merasa sudah menerapkan prinsip keadilan restoratif seperti instruksi Kapolri. Rekaman permintaan maaf Arkham itu kemudian disebarkan via akun media sosial polisi di jagat maya.
Dalih polisi semacam itu tidaklah tepat. Pertama, unggahan Arkham merupakan ekspresi sikapnya sebagai warga negara. Sebagai pejabat publik, Gibran tentu wajib menerima segala kritik dan masukan warganya. Kedua, Gibran sendiri tidak pernah melaporkan keberatan atas cuitan Arkham itu kepada penegak hukum. Artinya, polisi bertindak melampaui kewenangannya.
Sesat tindakan polisi ini naga-naganya bakal bertambah dengan rencana penegak hukum memberikan lencana (badge award) bagi masyarakat yang aktif melaporkan dugaan tindak pidana di media sosial. Pemberian lencana semacam itu justru bisa memperparah polarisasi di masyarakat. Apalagi sampai saat ini polisi tak pernah mengumumkan kriteria unggahan yang harus dilaporkan. Bisa-bisa urusan kecil antar-warga berujung pada saling lapor ke kantor polisi.
Semua kisruh ini bermula dari keengganan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat merevisi UU ITE. Sudah banyak kajian yang menegaskan bahaya aturan itu untuk kebebasan berekspresi di Indonesia. Jalan tengah Kapolri dengan penerbitan Surat Edaran Nomor SE/2/11/201 tentang Etika di Dunia Maya justru tidak menyelesaikan masalah. Edaran itu malah membuat polisi aktif berpatroli secara virtual di Internet. Dengan kata lain, mereka yang bernasib seperti Arkham Mukmin bakal terus bertambah.
Ketimbang sibuk mengurusi opini warga di Internet, polisi sebaiknya berfokus saja memberantas kejahatan konkret di dunia maya. Ada banyak kasus kejahatan, seperti investasi bodong dan penipuan online, yang tak pernah tuntas diatasi. Jika model patroli virtual ini diteruskan, berarti pemerintah tak lagi peduli pada perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan sipil di negeri ini.