Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak boleh memberi ampun kepada perusahaan yang terlibat penyuapan terhadap pejabat Direktorat Jenderal Pajak. Perusahaan yang mengatur dan memberi rasuah sudah seharusnya dijerat sebagai tersangka korupsi pajak. Praktik lancung merekayasa nilai pajak merupakan kejahatan korporasi.
Ironisnya, upaya penyelidik KPK menjerat tiga korporasi sebagai tersangka penyuapan malah dimentahkan oleh pimpinan komisi antikorupsi itu sendiri. Penolakan itu tidak disertai dengan pertimbangan hukum yang solid. Padahal keterlibatan sejumlah perusahaan sudah tergambar dari bukti-bukti yang dibeberkan tim penyelidik saat gelar perkara.
Sejauh ini, KPK baru menetapkan dua pejabat pajak, yakni Angin Prayitno dan Dadan Ramdani, sebagai tersangka. Keduanya diduga menerima suap Rp 50 miliar dari empat konsultan yang mengurus pajak tiga perusahaan agar memperoleh surat ketetapan pajak lebih rendah. Ketiga perusahaan itu adalah PT Jhonlin Baratama, PT Gunung Madu Plantations, dan PT Bank Panin. Keempat konsultan pajak itu juga sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Sebenarnya tak sulit bagi KPK untuk membuktikan kasus tersebut sebagai pidana korporasi. Salah satu tolok ukurnya adalah apakah penyuapan pajak yang menguntungkan institusi menggunakan kas perusahaan. Aksi lancung ini juga biasanya diketahui perusahaan. Karena itu, perilaku culas ini mesti dipisahkan antara kejahatan individu dan kejahatan perusahaan. Inilah yang disebut sebagai corporate criminal liability.
Untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan, penegak hukum KPK bisa menggunakan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016. Peraturan ini lahir untuk mengisi kekosongan hukum acara atas kejahatan yang dilakukan entitas korporasi dan pengurusnya. Ketentuan ini berlaku juga untuk berbagai tindak pidana korporasi di bidang perpajakan karena istilah korporasi tidak diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Peraturan ini mempunyai kriteria yang lebih mudah dalam hal pembuktian. Sebuah perusahaan bisa dianggap bersalah jika tindak pidana dilakukan untuk kepentingan korporasi atau mereka memperoleh manfaat dari kejahatan tersebut. Sebuah korporasi bisa dimintai pertanggungjawaban atas tindakan individu karena ada hubungan kerja ataupun hubungan lainnya. Bukan cuma itu, sebuah korporasi juga otomatis dianggap bertanggung jawab bila perusahaan tidak melakukan pencegahan.
Sejauh ini baru PT Giri Jaladhi Wana yang pernah dijerat dengan pidana korporasi dalam proyek pembangunan Pasar Sentra Antasari. Dalam kasus yang ditangani Kejaksaan Negeri Banjarmasin itu, PT Giri harus membayar denda Rp 1,3 miliar. Mereka juga ditutup sementara selama enam bulan. KPK malah belum memiliki kasus hingga vonis seperti itu.
Karena itulah, kasus penyuapan pajak yang membelit sejumlah korporasi baru-baru ini semestinya menjadi momentum bagi komisi antirasuah untuk menjerat mereka dengan pidana korporasi. Perusahaan yang berbuat curang sudah sewajarnya dikenai denda dan ditutup sementara kegiatan operasinya. Sikap setengah hati pimpinan KPK, selain gagal memberikan efek jera, bisa mengundang syak wasangka ada "udang” di balik perkara.