Kritik Presiden Joko Widodo atas tak efektifnya pelaksanaan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) dalam menahan laju penularan Covid-19 tidak bakal bermakna jika tak cepat ditindaklanjuti. Kemarahan Presiden dalam rapat terbatas penanganan pandemi pekan lalu itu seharusnya langsung diikuti dengan serangkaian instruksi dan kebijakan yang jelas. Jika tidak, kritik Jokowi tersebut bisa sia-sia dan dianggap tak lebih dari sekadar pencitraan.
Sejak awal PPKM diberlakukan pada 11 Januari lalu, publik sebenarnya sudah ragu hal ini bisa efektif membatasi mobilitas masyarakat. Urgensi penggunaan istilah baru, untuk kebijakan yang pada dasarnya sama dengan PSBB, juga ramai dipertanyakan. Ada yang menduga pemerintah alergi terhadap PSBB, yang dikhawatirkan membuat laju perekonomian anjlok.
Karena itu, pengakuan Presiden bahwa PPKM memang tak berhasil tentu patut disambut sebagai kejujuran menerima fakta di lapangan. Apalagi Jokowi menambahkan bahwa pemerintah kini bisa menerima jika perekonomian terkena dampak oleh pembatasan kegiatan masyarakat, asalkan angka penambahan kasus baru positif Covid-19 benar-benar turun. Dengan kata lain, sudah ada kesadaran bahwa upaya menggenjot ekonomi sehebat apa pun akan percuma jika wabah tetap tak terkendali.
Kejujuran dan kesadaran baru ini bisa menjadi faktor kunci untuk memperbaiki cara Indonesia menangani pandemi. Apalagi, sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga sudah dengan terbuka mengakui bahwa pola 3T (testing, tracing, treatment) yang selama ini diterapkan pemerintah ternyata keliru.
Rupanya, testing selama ini tidak diprioritaskan bagi mereka yang terdata dalam proses penelusuran (tracing), melainkan diutamakan pada calon penumpang transportasi umum serta pekerja kantoran atau lembaga pemerintah. Proses penelusuran kontak di Indonesia pun jauh dari standar WHO, yang seharusnya 1:30 alias 30 warga didata untuk setiap satu pasien positif. Akibatnya, data testing tak bisa menjadi bahan diagnosis untuk kebijakan pengendalian pandemi.
Harus diakui, jika koreksi kebijakan pengendalian pandemi dilakukan lebih awal, situasi kita tak akan sesulit hari ini. Pada awal 2020, ketika berbagai negara bergerak sigap mengatasi penyebaran virus yang berasal dari Wuhan, Cina, ini, pemerintah Indonesia terkesan tenang-tenang saja, bahkan meremehkan. Pesan yang tidak jelas ini membuat masyarakat kebingungan.
Kebijakan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB juga baru diterapkan pada April 2020, ketika virus corona sudah menyebar ke mana-mana. Itu pun dilakukan dengan setengah hati. Banyak kelonggaran yang diberikan dengan alasan menjaga stabilitas ekonomi. Belakangan pemerintah bahkan menyetujui pelaksanaan pilkada, keputusan yang membuat laju penularan Covid-19 terus menanjak.
Sebelum kemarahannya pada pekan lalu, Presiden Jokowi juga kerap memberikan kesan seolah-olah Indonesia telah sukses mengatasi pandemi. Terakhir, pada Senin, 25 Januari lalu, Presiden masih mengklaim bahwa Indonesia sudah berhasil mengendalikan krisis pandemi. Padahal, sejak Januari 2021, angka positivity rate Covid-19 selalu di atas 20 persen, bahkan pernah menyentuh 30 persen. Itu jauh di atas standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang sebesar 5 persen. Klaim keberhasilan semu itu jelas berbahaya karena membuat kewaspadaan publik terhadap pandemi melemah.
Walhasil, kemarahan Jokowi pekan lalu adalah momentum yang ditunggu-tunggu banyak orang. Menteri Kesehatan mesti segera menindaklanjutinya dengan berbagai kebijakan konkret agar kita bisa segera keluar dari krisis ini.