Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah harus mencabut pasal diskriminatif dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Pasal yang melarang bekas anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menjadi peserta pemilu dan pemilihan kepala daerah dalam RUU tersebut mencederai prinsip-prinsip demokrasi.
Pasal 182 RUU Pemilu yang diusulkan DPR menyebutkan beberapa syarat pencalonan untuk peserta pemilu serta pilkada. Butir ii pasal itu menyatakan peserta pemilu dan pilkada bukan bekas anggota PKI, yang disebut sebagai organisasi terlarang. Termasuk juga anggota organisasi massa dan orang yang terlibat langsung dalam Gerakan 30 September 1965, yang diklaim oleh pemerintah sebagai ulah PKI.
Adapun butir jj menyebutkan peserta pemilu dan pilkada bukan bekas anggota HTI, organisasi yang dibubarkan pemerintah pada 2017 karena dituduh memiliki asas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Munculnya dua klausul itu menunjukkan kacaunya cara berpikir para anggota Dewan yang menjadi inisiator RUU Pemilu. PKI dan HTI bukanlah partai peserta pemilu, dan mereka sudah dibubarkan serta dilarang. Apa dasar yang dipakai negara untuk membatasi hak politik mantan anggotanya?
Sebagai pembuat undang-undang, para anggota legislatif seharusnya paham bahwa setiap larangan yang membatasi hak warga negara seharusnya memiliki basis legal. Pelarangan harus didasarkan pada putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, bukan semata-mata karena sentimen politik.
Larangan tersebut juga semestinya tidak diberlakukan kalau DPR mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003. Putusan tersebut membatalkan pembatasan serupa dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu. MK menyatakan keanggotaan pada suatu organisasi terlarang, sebelum organisasi itu dilarang, bukanlah pelanggaran hukum ataupun konstitusi. Karena itu, menurut MK, pelarangan semacam itu merupakan bentuk diskriminasi sekaligus pelanggaran hak asasi manusia.
Bangsa ini memiliki pengalaman pahit pasca-tragedi 1965, ketika masyarakat terpecah-belah dan terus-menerus khawatir lantaran propaganda anti-komunis. Seseorang bisa tiba-tiba kehilangan pekerjaan, hak politik, bahkan kebebasannya, hanya karena dituding memiliki hubungan dengan partai yang barangkali cuma pernah ia dengar namanya.
Aturan baru ini, kalau dipaksakan berlaku, bisa menimbulkan hal serupa: stigmatisasi dan penindasan terhadap individu ataupun kelompok tertentu. Tuding-menuding hingga saling fitnah juga sangat mungkin terjadi, manakala pihak-pihak yang bersaing memanfaatkannya untuk menjegal lawan politik. Bukannya membuat iklim demokrasi menjadi lebih baik, pelarangan tersebut malah akan mendorong konflik dan perpecahan.
Reformasi 1998 membawa kita kembali menghargai hak asasi dan hak politik warga negara. Kita sekarang memiliki beragam partai politik dengan berbagai aspirasi. Pemerintah dan DPR semestinya mempertahankan iklim demokrasi ini dan berusaha membuatnya lebih terbuka serta partisipatif. Bukan sebaliknya, membuat aturan yang membawa negara ini kembali ke era kegelapan, saat kekuasaan dan perbedaan pandangan politik menjadi alasan untuk saling menghancurkan.