Membesarnya struktur Komisi Pemberantasan Korupsi semakin menegaskan ada yang keliru dari tata kelola organisasi di lembaga tersebut. Selain memboroskan anggaran, perubahan itu bisa menciptakan tumpang-tindih kewenangan di lingkup internal KPK. Imbasnya, kinerja KPK yang tengah merosot dalam memerangi korupsi berpotensi semakin tidak bergigi lagi.
Perubahan organisasi terjadi setelah Ketua KPK Firli Bahuri melantik 38 pejabat untuk mengisi sejumlah pos, dua hari lalu. Penambahan sejumlah pos jabatan itu tak lepas dari terbitnya Peraturan KPK No. 7 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK. Sejak awal, peraturan ini memang diyakini bakal menambah panjang daftar masalah di dalam KPK.
Peraturan itu, misalnya, memasukkan jabatan-jabatan baru, seperti inspektorat, yang memiliki fungsi pengawasan internal kelembagaan meliputi penegakan aturan disiplin kepegawaian. Jabatan baru ini berpotensi saling silang dengan Dewan Pengawas, yang juga memiliki kewenangan serupa. Kejanggalan lain, inspektorat mendapat tugas mengeksaminasi putusan pengadilan, yang lebih tepat dikerjakan oleh Biro Hukum KPK.
Kebijakan melantik pejabat baru itu juga dapat dinilai sebagai tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh pimpinan KPK. Sebab, revisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK tidak diikuti pergantian substansi dalam undang-undang lama yang mengatur struktur organisasi. Artinya, landasan hukum yang dijadikan dasar pelantikan menabrak ketentuan.
Peraturan KPK itu akan menambah 19 jabatan baru. Struktur yang besar sudah pasti membuat kinerja KPK semakin tidak efektif dan efisien. Bengkaknya postur baru KPK jelas bertolak belakang dengan semangat pemerintah merampingkan struktur birokrasi.
Masalahnya, struktur organisasi yang bertambah gendut selalu diikuti dengan melonjaknya anggaran. KPK pasti butuh tambahan duit untuk menggaji para pejabat yang mengisi posisi baru tersebut. Walhasil, tidak hanya ada potensi tumpang-tindih wewenang, bertambahnya anggaran di tengah kinerja yang terus merosot hanya akan berujung pada pemborosan.
Kenaikan anggaran lazimnya diikuti peningkatan kinerja. Namun yang terjadi pada KPK justru sebaliknya. Tahun lalu, komisi antikorupsi di era Firli hanya melakukan tujuh kali penangkapan. Capaian itu jauh di bawah tahun-tahun sebelumnya. Pada 2018, misalnya, KPK melakukan 30 operasi tangkap tangan. Tahun berikutnya tercatat 18 kali.
Di sisi lain, perubahan organisasi juga semakin membuat warna polisi kian kental di dalam KPK. Enam di antara pejabat baru yang dilantik adalah jenderal polisi--lembaga asal Firli. Kini, ada sembilan jenderal aktif polisi yang menduduki pos-pos penting di institusi antikorupsi tersebut. Menguatnya peran polisi di lembaga antirasuah itu bukan tidak mungkin akan memicu konflik kepentingan atas kasus-kasus yang melibatkan kepolisian.
Alih-alih menambah jabatan yang tidak akan berdampak besar terhadap pemberantasan korupsi, pimpinan KPK sebaiknya berfokus meningkatkan kinerja agar kepercayaan publik kembali pulih. Merosotnya kinerja akan membuat lembaga tersebut semakin dilupakan orang banyak.