Tahun ini, Presiden Joko Widodo memecahkan dua rekor secara beruntun. Jokowi menjadi presiden pertama Indonesia yang merestui anak dan menantunya maju sebagai calon kepala daerah. Tak lama lagi, Jokowi juga akan menjadi presiden pertama yang memiliki anak dan menantu yang menjabat wali kota. Tudingan bahwa Jokowi memainkan politik dinasti pun tak mudah dibantah.
Jokowi memang tak melanggar aturan apa pun ketika mendukung pencalonan sanak familinya untuk maju dalam pemilihan kepala daerah. Mahkamah Konstitusi bahkan telah mencabut larangan bagi kerabat pejabat untuk maju dalam pilkada. Lagi pula, Gibran dan Bobby hanya dua dari seratusan kandidat dalam pilkada 2020 yang juga punya relasi kekerabatan dengan dinasti politik tertentu.
Meski tak bermasalah secara hukum, Jokowi semestinya merasa risi. Secara fatsun politik, seorang pemegang puncak kekuasaan eksekutif tak pantas merestui sanak familinya bertarung mengejar jabatan politik tertentu. Jokowi tak bisa “cuci tangan” dengan menyatakan terserah masyarakat akan memilih atau tidak anak dan menantunya itu. Bagaimanapun, tanpa status anggota keluarga presiden, Gibran dan Bobby tak akan menikmati popularitas seperti sekarang ini.
Ada pula potensi penyalahgunaan kekuasaan ketika calon dari trah keluarga yang berkuasa maju dalam kontestasi politik. Seorang kerabat pejabat lebih memiliki privilese untuk mengakses pelbagai perangkat kekuasaan ketimbang kandidat lain. Apalagi para pejabat kita, baik di pusat maupun daerah, masih kental dengan budaya "asal bapak senang" demi mempertahankan kedudukan mereka.
Memang belum ada bukti Jokowi memerintahkan aparat pemerintah untuk memenangkan Gibran dan Bobby. Tapi, sejak awal pencalonan, Gibran dan Bobby maju melalui prosedur yang tak baku di partai politik. Di lapangan kemudian tak sedikit aparat yang bergerak. Di Solo, staf Jokowi dikabarkan turut membantu Gibran. Sedangkan di Medan, ada lurah yang mengarahkan warganya untuk memilih Bobby. Lurah itu bergerak karena diperintahkan camat. Ada pula polisi yang menggalang dukungan masyarakat untuk memilih Bobby. Walhasil, meski dari jauh terlihat demokratis, pilkada Solo dan Medan bukanlah arena bermain yang setara (level playing field) bagi semua kandidat.
Terlalu dini pula untuk memprediksi bagaimana Gibran dan Bobby akan menjalankan kepercayaan para pemilihnya. Namun banyak bukti empiris bahwa politik dinasti kerap melahirkan pemerintahan daerah yang korup. Sejak 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi telah mencokok belasan kepala daerah yang merupakan bagian dari dinasti politik. Politik dinasti tak hanya bisa menghasilkan pemerintahan yang menguntungkan segelintir orang, tapi juga memiliki daya rusak yang besar bagi sistem demokrasi. ***