PIDATO tak lagi cukup untuk merespons penetapan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka korupsi dana bantuan sosial. Presiden Joko Widodo seharusnya segera merombak total model penyaluran santunan untuk mereka yang terkena dampak pandemi Covid-19 itu.
Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan Juliari mengutip Rp 10 ribu per kemasan bantuan sosial di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Dengan perkiraan 12 kali penyaluran dan masing-masing 1,9 juta kemasan sejak April lalu, total pungutan itu bernilai jumbo: Rp 228 miliar.
Jokowi merespons penetapan itu dengan pidato singkat: menghormati dan akan mendukung langkah komisi antikorupsi. Pidato yang kurang-lebih sama ia sampaikan dua pekan lalu, setelah KPK menangkap anggota lain di kabinetnya, yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Respons itu sama sekali tidak menunjukkan kegawatan: dalam kurang dari sebulan, dua menteri yang seharusnya mengurus hajat hidup orang banyak terjerat operasi KPK.
Sejak penyaluran pada awal masa pandemi, bantuan sosial telah bermasalah. Persoalan data yang tumpang-tindih membuat banyak bantuan tidak tepat sasaran. Pengadaan berskala besar dalam waktu singkat pada masa krisis, yang memungkinkan mekanisme tanpa lelang, membuatnya kacau-balau. Bagi pejabat dan aparatnya yang jahat, inilah kesempatan terbaik untuk mengambil keuntungan.
Juliari ditengarai menggunakan celah itu. Melalui anggota staf pribadinya, ia diduga menerima sebagian dana pungutan. Wakil Bendahara Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu pun disebut-sebut menggunakan duit yang sama buat menyewa jet pribadi untuk sejumlah kunjungannya ke daerah.
Jika tuduhan itu terbukti, Juliari sama sekali tidak berperikemanusiaan. Pungutan tersebut membuat jutaan orang yang setiap hari harus berjuang memperpanjang hidup tidak menerima bantuan dengan semestinya. Dari bujet Rp 300 ribu per kemasan, bantuan dipotong Rp 15 ribu untuk ongkos kirim, Rp 15 ribu buat biaya tas bertulisan “bantuan presiden”, serta Rp 10 ribu pungutan Menteri. Menilik jenisnya, agak meragukan pula barang-barang yang diberikan bernilai Rp 260 ribu.
Komisi antikorupsi perlu melanjutkan pengusutan kasus ini semaksimal mungkin. Pada saat yang sama, pemerintah seharusnya segera mengubah model penyaluran bantuan. Badan Pemeriksa Keuangan dan Ombudsman RI telah lama merekomendasikan agar bantuan sosial diberikan secara tunai.
Bantuan tunai jelas lebih efektif. Penerima bisa menggunakannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Kenyataannya, tidak semua orang memerlukan mi instan ataupun sarden--barang yang hampir selalu ada dalam setiap kemasan bantuan. Kalaupun membutuhkan, mereka bisa membelinya di warung terdekat dan, dengan demikian, menghidupkan ekonomi lokal.
Waktunya tak banyak bagi Presiden Jokowi untuk mengatasi persoalan gawat ini.