TENGOKLAH ke Petamburan, Jakarta Pusat. Sejak pekan lalu, kita menyaksikan hipokrisi semua level pemerintah dan seluruh aparatnya dalam menghadapi Muhammad Rizieq serta para pengikutnya. Semua tergagap-gagap, kikuk, abai, atau sungkan di hadapan pemimpin Front Pembela Islam (FPI) itu.
Ketika pergerakan hampir semua kelompok masyarakat dibatasi secara ketat pada masa pandemi, ribuan orang justru difasilitasi untuk berkerumun secara longgar. Mereka berduyun-duyun mendatangi upacara pernikahan anak Rizieq sekaligus pengajian akbar pada Sabtu malam lalu. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mengirim 20 ribu masker dan cairan pembersih tangan untuk mereka. Kepolisian juga mengizinkan penutupan total jalan raya untuk pendirian tenda-tenda.
Jakarta masih berstatus pembatasan sosial berskala besar transisi. Peraturan daerah melarang kerumunan orang. Pertemuan tertutup hanya boleh dilakukan maksimal separuh dari kapasitas ruangan. Kenyataannya, orang dibiarkan terus berdatangan ke rumah Rizieq sejak Selasa pekan lalu, ketika ia kembali dari pelarian selama tiga tahun lebih di Arab Saudi. Gubernur Anies Baswedan bahkan bertamu pada kesempatan pertama, seolah-olah merestui aneka pelanggaran itu.
Rizieq juga mengumpulkan massa di Mega Mendung, Bogor, Jawa Barat, tempat pesantren yang ia dirikan. Aparat pun tak bertindak apa pun melihat kerumunan orang itu. Padahal, Kepala Polda Jawa Barat Inspektur Jenderal Rudy Sufahriadi mengakui adanya pelanggaran protokol kesehatan. Tanpa tindakan apa pun, pemerintah terkesan meminta publik memaklumi semua hal yang dilakukan Rizieq.
Pemerintah DKI memang menjatuhkan sanksi denda Rp 50 juta kepada Rizieq atas acara pada Sabtu lalu itu. Tapi sanksi ini tak lebih dari basa-basi. Pemerintah, termasuk kepolisian yang berwenang mengatur izin keramaian, semestinya melarang acara besar pada masa pandemi. Pengabaian ini membuat risiko penularan Covid-19 begitu tinggi. Bisa diperkirakan, beban fasilitas kesehatan, termasuk tenaga kesehatannya, akan semakin berat.
Pemerintah seharusnya menjaga prinsip kesetaraan di depan hukum. Asas “keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi” semestinya menjadi pegangan utama dalam menghadapi Rizieq. Asas itulah yang selama ini digunakan untuk membatasi kebebasan banyak orang. Jangan biarkan pembangkangan oleh Rizieq dan pengikutnya.
Ketidaktegasan negara dalam menegakkan hukum selama ini telah menumbuhsuburkan intoleransi—yang antara lain tergambar dalam pidato-pidato Rizieq. Populisme agama sering kali membuat aparat bertindak ambigu. Politikus oportunis menggunakannya demi kepentingan perebutan atau pelanggengan kursi. Penguasa menggunakannya untuk politik keseimbangan. Hipokrisi semacam itulah yang membesarkan orang-orang seperti Rizieq.