Terinfeksi virus corona bukanlah aib. Mereka yang tertular Covid-19 harus terbuka mendeklarasikan diri agar otoritas medis bisa menelusuri rangkaian penularan dan mencegahnya meluas. Menutup-nutupi identitas mereka yang terjangkit infeksi virus ini justru akan menyulitkan pencegahan dan penanganannya.
Sayangnya, hal itulah yang terjadi sekarang, termasuk di level tertinggi pemerintahan. Dari delapan menteri di kabinet Presiden Joko Widodo yang terinfeksi virus corona, hanya tiga orang yang mendeklarasikan diri. Selain memperburuk kampanye pencegahan penularan yang sedang digalang pemerintah sendiri, perilaku itu membahayakan keselamatan kolega dan bawahan mereka. Ketertutupan mereka menguatkan stigma soal pasien Covid-19 dan menjadi contoh buruk di masyarakat.
Tanpa kesediaan pasien untuk sukarela mengumumkan diri terkena Covid-19, pemerintah di tiap tingkat tak akan berdaya mencegah wabah ini meluas. Tanpa data penelusuran interaksi pasien, mustahil otoritas medis bisa memutus mata rantai penularan virus corona ini. Para menteri seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat tentang bagaimana mencegah penularan virus dan menanganinya jika terinfeksi. Menutup diri, dengan dalih apa pun, akan membuat virus leluasa menulari orang ke orang.
Apalagi, ketika pemerintah tak memilih karantina wilayah dalam menangani pandemi, penelusuran interaksi (contact tracing) merupakan cara utama untuk mengendalikan penularan virus mematikan ini. Syaratnya, ada keterbukaan dan transparansi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Sejak awal pandemi Covid-19 merebak, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah menegaskan bahwa strategi penanganan wabah ini harus terdiri atas tiga langkah: tes sebanyak-banyaknya mereka yang diduga tertular (testing), telusuri interaksi pasien setidaknya dengan rasio 1:30 orang (tracing), dan rawat mereka yang mengalami gejala (treatment). Nyatanya, hingga kini, Indonesia masih terus kedodoran. Jumlah tes belum merata di seluruh wilayah zona merah dan totalnya tak selalu mencapai 30 ribu sampel per hari. Sedangkan penelusuran kontak pada September lalu masih ada di sekitar rasio 1:6 orang.
Padahal, tanpa tiga hal itu, pandemi akan semakin lama bercokol. Percuma saja pemerintah terus mengkampanyekan 3M—memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan—kepada warganya jika kewajiban 3T (testing, tracing, dan treatment) justru diabaikan. Dalam konteks itulah, sikap para menteri yang tak mau terbuka mengaku terkena Covid-19 patut disesalkan. Penelusuran kontak pasien di lapangan akan jauh lebih mudah jika para menteri menegaskan bahwa terkena Covid-19 bukanlah aib.
Kita harus belajar dari negara lain yang berhasil menangani pandemi ini. Cina, Korea Selatan, dan Taiwan menjadi contoh konkret bagaimana penelusuran kontak pasien amat memudahkan penanganan wabah di sana. Keberhasilan ketiga negara itu menunjukkan bahwa efektivitas penanganan pandemi bukanlah soal demokratis-tidaknya sistem pemerintahan suatu negara, melainkan soal ketepatan strategi dan efisiensi penggunaan sumber daya.