Hasil survei terbaru Indikator Politik Indonesia menunjukkan demokrasi di Indonesia tengah merosot ke titik nadir. Sebagian besar dari 1.200 responden yang diwawancarai pada akhir September lalu menyatakan warga negara kini semakin takut berpendapat. Mayoritas juga menilai aparat keamanan kian semena-mena menangkap warga negara yang pandangan politiknya berbeda dengan pemerintah.
Hasil survei yang dirilis pada Ahad, 25 Oktober lalu, itu menguatkan kajian sejumlah lembaga. Freedom House tahun ini kembali mengkategorikan Indonesia sebagai negara demokrasi yang hanya bebas sebagian (partly free). Studi Economist Intelligence Unit tiga tahun terakhir juga menempatkan indeks demokrasi Indonesia pada kategori cacat (flawed democracy). Penyebabnya serupa: pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat, hak-hak sipil, dan kelompok minoritas.
Di lapangan, indikasi kemunduran demokrasi pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo tampak nyata: demokrasi hanya bekerja di level prosedural. Suara publik tak tampak di ruang-ruang politik formal, seperti dalam rapat-rapat pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Ruang politik formal itu dikuasai aktor formal politik, para oligark yang mencengkeramkan kuku lewat penguasaan partai politik. Diskusi di lembaga formal dipengaruhi oleh seberapa besar kekuasaan dan kepentingan politik para aktor, bukan suara rakyat yang semestinya menjadi substansi dari demokrasi.
Pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja serta revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi adalah contoh bagaimana suramnya demokrasi. Kebijakan yang sarat kepentingan oligark itu disahkan meski minim partisipasi publik. Pada era pemerintahan Jokowi, suara rakyat tak hanya diabaikan, tapi juga makin sering dibungkam lewat serangkaian aksi kriminalisasi, penangkapan, dan berbagai bentuk intimidasi lain terhadap para pengkritik kebijakan.
Mereka yang meyakini demokrasi sebagai sistem yang terbaik patut khawatir atas hasil survei sejumlah lembaga tersebut. Masyarakat yang semakin takut menyuarakan pendapat dan tindakan aparat yang semena-mena merupakan pertanda demokrasi menunggu ajal.
Pengesahan UU Cipta Kerja bisa menjadi momentum bagi masyarakat sipil untuk merapatkan barisan. Omnibus law itu telah melemahkan hak-hak buruh, merusak lingkungan hidup, memusatkan kekuasaan di tangan pemerintah pusat, dan menyuburkan korupsi. Kerusakan masif itu semestinya dipakai masyarakat sipil untuk merapatkan barisan. *