Rencana Kementerian Komunikasi dan Informatika membuat peraturan pemblokiran media sosial untuk mencegah penyebaran hoaks dan disinformasi perlu diawasi lekat-lekat. Jangan sampai aturan itu kelak menjadi alasan untuk membungkam suara kritis terhadap kebijakan pemerintah yang kerap disuarakan di media sosial.
Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan. Niat memperketat penggunaan media sosial itu dilontarkan di tengah maraknya penolakan atas Undang-Undang Cipta Kerja, yang bermasalah dari prosedur pembuatan hingga isinya. Beberapa waktu lalu, sejumlah pejabat pemerintah juga menuding pendapat yang menolak omnibus law di media sosial sebagai hoaks dan para demonstran adalah korban dari informasi palsu.
Tuduhan itu sungguh menghina nalar publik. Kita tahu bahwa akar masalah ini adalah dijauhkannya partisipasi publik dalam pembahasan. Sejak awal, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tidak transparan dalam menyusun undang-undang yang akan berdampak terhadap seluruh rakyat itu. Unjuk rasa di jalanan dan suara warganet di media sosial harus dianggap sebagai upaya warga negara untuk “berpartisipasi” dalam penyusunan kebijakan publik setelah salurannya disumbat.
Media sosial, harus diakui, memang memiliki sisi buruk. Banyak berseliweran informasi yang belum terverifikasi. Tapi perangkat hukum yang ada sudah lebih dari cukup untuk menghentikan unggahan jahat tersebar dan memproses pelakunya—dan malah digunakan berlebihan oleh aparat. Selain itu, setiap platform media sosial punya mekanisme untuk menghapus konten yang dianggap tidak pantas. Dengan kata lain, aturan pemblokiran media sosial sebenarnya tidak mendesak.
Alasan Kementerian Komunikasi bahwa pemblokiran itu untuk mencegah tersebarnya hoaks sekilas masuk akal. Tapi ini merupakan jalan pintas yang belum tentu efektif dan justru akan membatasi kebebasan berpendapat. Pemerintah semestinya menyadari bahwa cara terbaik melawan hoaks adalah dengan transparansi—dan literasi digital. Dengan keterbukaan, masyarakat bisa mengakses sumber utama informasi. Dengan edukasi, mereka bisa mengecek kesahihan suatu kabar. Bagaimana publik mengetahui informasi itu benar atau tidak jika sumber informasinya ditutup?
Inilah yang terjadi saat kerusuhan meletus di Papua dan Papua Barat pada Agustus tahun lalu. Pemerintah membatasi akses publik ke media sosial. Di sejumlah wilayah, bahkan akses Internet ditutup. Langkah berlebihan itu jelas melanggar hak masyarakat untuk mendapatkan informasi, seperti juga dinyatakan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta bahwa pemerintah keliru. Lebih dari itu, ketiadaan akses Internet tak otomatis mencegah kabar bohong tersiar, tapi pasti menghambat informasi yang benar tersebar.