Tak ada pesta yang layak untuk memperingati satu tahun pertama dari periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo pada hari ini. Selain banyak dikritik dalam penanganan pandemi Covid-19, tahun perdana ini ditandai dengan kemunduran serius dan nyata dalam kehidupan demokrasi kita.
Sinyal kemunduran demokrasi terlihat dari data yang dirilis Freedom House, lembaga berbasis di Washington DC yang menilai hak politik dan kebebasan sipil secara global, pada 2020. Menurut Freedom House, tahun ini Indonesia memiliki skor 61, turun dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tren yang sama juga terlihat dari penilaian The Economist Intelligence Unit (EIU), yang menempatkan Indonesia masuk kategori demokrasi yang cacat, satu peringkat di bawah negara dengan status demokrasi penuh.
Kemunduran demokrasi dipicu tekanan keras terhadap kebebasan sipil, yang ditandai dengan banyaknya kekerasan, penangkapan, dan pemidanaan terhadap aktivis, masyarakat adat, serta masyarakat sipil. Sikap itu antara lain dipicu oleh pilihan model pembangunan Jokowi yang mengabaikan perlindungan atas hak-hak sipil dan politik warganya.
Pilihan menjadikan “ekonomi sebagai panglima” berdampak tidak terpenuhinya kewajiban negara dan lepasnya tanggung jawab Jokowi dalam soal pemberantasan korupsi. Alih-alih berusaha menjaga KPK, institusi yang bisa dibilang sebagai anak kandung reformasi, Jokowi malah menyetujui revisi yang membuat lembaga tersebut menjadi tak lagi bergigi.
Jokowi juga memperpanjang kealpaannya pada periode pertama lalu, dengan tidak menuntaskan satu pun dari sembilan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu. Bukannya memberikan keadilan bagi para korban, Jokowi malah merekrut orang-orang yang dituding sebagai pelaku pelanggaran HAM masuk ke kabinetnya.
Dalam negara demokrasi, partai politik sebenarnya berfungsi untuk menjalankan kontrol terhadap pemerintah. Namun peluang itu kian tertutup karena Jokowi berusaha merangkul sebanyak mungkin partai bergabung menjadi sekutunya. Dengan begitu, dua partai “oposisi” nyaris tak bisa berfungsi sebagai penyeimbang.
Pada saat saluran formal demokrasi mengecil, aspirasi publik akhirnya banyak yang tumpah ke jalanan seperti pada September 2019, ketika terjadi demonstrasi besar menolak revisi Undang-Undang KPK dan revisi KUHP. Hal serupa berulang ketika buruh, mahasiswa, dan masyarakat sipil turun ke jalan untuk menolak Undang-Undang Cipta Kerja pada awal Oktober ini.
Kebebasan sipil kian menyempit ketika pengkritik pemerintah dengan mudah dipidanakan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kelompok kritis kerap menghadapi serangan digital yang tak diusut serius oleh penegak hukum. Dengan membiarkan semua itu terjadi, Jokowi seperti memilih “gigi mundur” dalam berdemokrasi. *