Arak-arakan untuk mengantar pasangan calon mendaftar ke sejumlah kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah jelas berbahaya di masa pandemi ini. Komisi pemilihan, aparat keamanan, dan semua calon kepala daerah seharusnya mencegah kekonyolan yang bisa memperluas penularan Covid-19 itu.
Komisi pemilihan di 270 wilayah membuka pendaftaran pasangan calon selama tiga hari hingga kemarin. Celakanya, banyak pasangan calon yang mendaftar dengan membawa massa pendukungnya seperti di masa normal. Di Karawang, misalnya, pasangan calon Cellica Nurrachadiana-Aep Saepulloh mendaftar dengan iringan ratusan pendukungnya. Di Surabaya, pendaftaran pasangan Eri Cahyadi-Armuji disertai pertunjukan reog dan barongsai.
Massa pendukung calon kepala daerah itu seperti tak peduli bahwa kurva Covid-19 di Indonesia kini sedang menanjak tajam. Satuan Tugas Covid-19 mencatat, hingga kemarin siang, jumlah kasus baru positif Covid-19 harian bertambah 3.444 orang. Secara total, 194.109 orang terinfeksi virus itu. Sebanyak 8.025 di antaranya meninggal.
Komisi pemilihan memang telah membuat aturan agar pasangan calon dan tim kampanye mematuhi protokol kesehatan. Namun ketentuan dalam Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2020 itu seperti tak bergigi. Sanksi yang tercantum jelas hanya berupa teguran. Dengan ancaman sanksi yang ringan itu, komisi pemilihan dan aparat keamanan terbukti tak berdaya menghalau massa.
Sepanjang pandemi tak terkendali, jangankan arak-arakan di jalanan, kampanye tatap muka di ruang tertutup pun bisa menjadi kluster penularan Covid-19. Agar wabah tak makin meluas, sebelum memasuki tahap kampanye, komisi pemilihan seharusnya menetapkan protokol yang lebih ketat dengan sanksi yang lebih berat. Sanksi tak cukup untuk massa pendukung yang melanggar, tapi juga harus berlaku untuk pasangan calon yang memobilisasi mereka.
Kandidat yang tak peduli atas keselamatan pendukungnya bukan saja tak layak dipilih. Mereka bahkan layak didiskualifikasi sebelum mendatangkan mudarat yang lebih besar. Karena itu, semua pasangan calon seharusnya menghindari pengerahan massa dan memilih metode kampanye yang lebih aman, misalnya melalui pertemuan virtual atau pemanfaatan media sosial.
Lebih jauh lagi, pemerintah dan komisi pemilihan seharusnya membuat rencana darurat untuk mengantisipasi bila wabah semakin berkecamuk. Pemerintah Indonesia layak berkaca pada keputusan pemerintah negara lain. Ada negara yang menunda pemilihan umum, seperti Italia dan Cile. Ada juga yang mengoptimalkan pemilihan online, seperti Selandia Baru.
Pada masa pandemi, kewajiban pemerintah tak hanya menjamin pilkada berjalan secara demokratis dan tanpa manipulasi. Pemerintah juga wajib memastikan semua tahap pilkada tak mengorbankan kesehatan masyarakat. *