KETIMPANGAN jumlah tes usap Covid-19 antara Jakarta dan daerah lain menunjukkan bahwa pemerintah pusat tidak serius melakukan tes massal sebagai solusi mengatasi pandemi.
Hingga 11 Agustus lalu, DKI Jakarta dengan penduduk sekitar 9,6 juta jiwa telah melakukan 469.582 tes PCR, atau rata-rata 48 ribu tes per sejuta penduduk. Namun provinsi tetangganya, Jawa Barat, baru menguji 191.689 spesimen dari hampir 50 juta penduduknya, atau 3.838 tes per sejuta penduduk. Adapun Banten baru 42 ribu tes dari sekitar 11,83 juta penduduknya, atau 3.550 tes per sejuta penduduk.
Upaya Jakarta melakukan tes PCR massal sia-sia bila potensi penyebaran virus dari daerah-daerah penyangga masih besar. Dinamika dan mobilitas warga yang tinggi antara Jakarta dan daerah sekitarnya membuat strategi penanganan pandemi, seperti tes PCR, harus dilakukan simultan dan tak bisa sendiri-sendiri.
Kebijakan penanganan pandemi ini sejak awal sudah diambil alih pusat, sementara daerah harus menunggu pusat dalam bertindak. Presiden Jokowi tak boleh lepas tangan ketika ada ketidakmerataan tes PCR. Pemerintah harus memaksa daerah untuk segera melakukan tes PCR sebanyak-banyaknya. Gugus Tugas Penanganan Covid-19 di pusat dan daerah tak boleh berpangku tangan.
Bila mengikuti rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah minimum tes PCR untuk Indonesia adalah 54 ribu tes per hari. Sejauh ini pemerintah baru melakukan tes PCR di bawah 30 ribu tes per hari. Hingga 17 Agustus lalu, Indonesia tercatat telah menguji 1,9 juta spesimen dari sekitar 267 juta penduduk. Namun rasio tes ini masih jauh di bawah India, Filipina, dan Afrika Selatan.
Tes massal (testing), pelacakan (tracing), dan pengobatan (treatment) merupakan tiga hal yang menjadi kunci keberhasilan penanggulangan pandemi.
Tes dilakukan untuk mengidentifikasi dan memisahkan orang-orang yang terinfeksi dari masyarakat untuk memutus rantai penyebaran virus. Data itu juga akan memberi gambaran epidemiologis wabah sehingga para pemangku kepentingan dapat menentukan strategi yang tepat untuk menghentikannya, termasuk kebijakan yang berhubungan dengan pemulihan ekonomi.
Tes PCR harus dilakukan sebanyak mungkin untuk mempercepat pemetaan dan mencegah penyebaran virus. Hal ini dilakukan di banyak negara yang berhasil menekan kurva epidemiologinya. Upaya menangguhkan tes, dengan dalih apa pun, adalah tindakan berbahaya. Hal itu hanya akan membuat penanganan wabah semakin lama dan kondisi perekonomian makin terpuruk.
Pemerintah lokal hendaknya tidak membiarkan tes ala kadarnya digelar agar daerah yang ia pimpin terkesan imun dari Covid-19. Buang jauh-jauh motif politik dan pencitraan dalam menangani pandemi ini.
Mencari obat penyembuh Covid-19 tentu baik-baik saja, juga menunggu laboratorium dunia menemukan vaksin untuk mencegah penyakit mematikan tersebut. Tapi melakukan keduanya seraya mengabaikan tes massal adalah tindakan bunuh diri.
Hendaknya diingat: jika pun vaksin ditemukan, proses vaksinasi terhadap lebih dari 270 juta penduduk Indonesia akan memakan waktu lama. Vaksin juga tak boleh diberikan kepada yang sakit. Dengan kata lain, tidak menggalakkan tes massal adalah tindakan bodoh dan tak bertanggung jawab.