Kebijakan pemerintah menjelang hari raya Idul Fitri 1441 Hijriah membingungkan. Di satu sisi melarang mudik untuk menjaga jangan sampai terjadi penyebaran lebih jauh wabah virus corona atau Covid-19, di sisi lain melonggarkan aturan angkutan penumpang yang memungkinkan orang-orang tertentu bepergian ke kampung halaman.
Aturan yang melarang mudik dalam rangka mencegah penyebaran wabah virus corona atau Covid-19 diteken oleh Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menteri Perhubungan Ad Interim, dua pekan lalu. Keputusan tersebut berlaku mulai 24 April sampai 31 Mei.
Setelah keluarnya peraturan itu, semua layanan transportasi udara, darat, dan laut berhenti beroperasi. Polisi berjaga di jalur-jalur utama, siap mencegat pemudik yang nekat. Mereka yang menggunakan jasa travel gelap, bersembunyi di dalam bagasi bus, atau menaikkan mobil pribadi ke atas truk, dipaksa putar balik.
Tapi, kemarin, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, yang baru kembali bertugas, melonggarkan pembatasan transportasi Idul Fitri tersebut. Dengan restu dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, dia mengeluarkan izin operasi terbatas untuk layanan transportasi darat, laut, dan udara.
Pelonggaran berlaku untuk orang yang melakukan perjalanan dinas dan misi penting lainnya, masyarakat umum yang hendak melayat anggota keluarganya yang meninggal atau menengok yang sakit keras, serta warga dan pelajar Indonesia dari luar negeri yang ingin pulang.
Memang ada syaratnya: mereka yang hendak bepergian harus memperhatikan protokol Covid-19. Yakni, penumpang tidak sedang mengalami gejala infeksi virus corona dan mengantongi surat keterangan sehat dari otoritas kesehatan setempat. Tapi bagaimana memastikan tidak ada penyelewengan? Atau, adakah jaminan orang yang sehat saat dites akan tetap bersih dari virus ketika melakukan perjalanan? Seyogianya Kementerian Perhubungan melakukan telaah keselamatan yang memadai sebelum mengeluarkan izin operasi ini.
Pada masa-masa khusus seperti pandemi virus corona ini, masyarakat membutuhkan kebijakan yang jelas dan dibuat pertama-tama demi keselamatan orang banyak. Aturan yang ambigu hanya akan menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian di tengah masyarakat.
Bisa jadi pemerintah buru-buru hendak menggiatkan kembali perekonomian karena melihat negara lain perlahan-lahan sudah mulai melonggarkan lockdown. Jika benar demikian, ini amat berbahaya, karena berbagai indikator dan studi memperlihatkan bahwa ancaman wabah Covid-19 di negara ini belum berlalu.
Pelonggaran aturan transportasi mudik yang mengabaikan aspek kesehatan publik ini pada akhirnya memberikan beban berat kepada daerah-daerah tujuan mudik. Di tengah berbagai kekurangan anggaran dan fasilitas, pemerintah daerah kini justru menghadapi ancaman penularan Covid-19. Tentu kita berharap daerah dapat menjaga gawang mereka baik-baik, mengamankan pintu-pintu kedatangan, dan memastikan semua tamu mengikuti prosedur pengamanan serta isolasi, sebelum mereka boleh berkumpul dengan keluarga dan kerabat masing-masing.