PENGADILAN Negeri Mojokerto, Jawa Timur, semestinya tidak menjatuhkan hukuman pengebirian kepada pelaku pemerkosaan anak. Meski ada yang menyebutnya sebagai terobosan, ini bukanlah putusan yang patut dipuji. Undang-undang menyediakan pidana tambahan lain bagi pemerkosa yang diyakini bisa memberi efek jera, selain kebiri.
Muh Aris bin Syukur, 20 tahun, ditangkap karena memerkosa sembilan anak di bawah umur di Mojokerto, Jawa Timur, sejak 2015 sampai akhirnya ditangkap pada Oktober 2018. Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto memvonisnya dengan pidana penjara 12 tahun, denda Rp 100 juta, serta hukuman tambahan berupa pengebirian secara kimia. Putusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Surabaya pada 18 Juli lalu.
Hakim mendasarkan putusan ini pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, yang merupakan perubahan atas regulasi tentang perlindungan anak sebelumnya. Undang-undang itu memuat adanya penambahan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Kendati ada celah hukum dan tingginya tingkat kejahatan pemerkosaan, putusan hakim memilih pengebirian tidaklah tepat. Tak ada yang menolak keinginan pemerintah untuk memberikan hukuman berat bagi pedofil. Hal ini merupakan salah satu cara untuk memberi efek jera agar pelakunya berpikir ulang sebelum berbuat, sehingga kasusnya diharapkan berkurang. Namun memberikan hukuman tambahan kebiri bukan satu-satunya opsi yang disediakan undang-undang.
Undang-undang memberikan tambahan hukuman lain yang bisa dipakai aparat penegak hukum untuk membuat jera pelaku seperti Aris ini. Hukuman tambahan yang bisa dipilih antara lain penjara seumur hidup, mengungkap identitas pelaku kepada publik, atau memasang alat deteksi elektronik. Identitasnya dibuka ke publik untuk membuat orang waspada. Bisa juga dengan memasang alat deteksi elektronik, agar keberadaan pelaku terus-menerus bisa dipantau setelah dia menjalani masa hukuman pokoknya.
Jika semangatnya untuk memberi efek jera, sejumlah hukuman tambahan-selain memaksimalkan hukuman pokok-itulah yang perlu diberikan kepada pelaku seperti Aris. Prinsip hukuman kebiri adalah membuat hormon testosteron seseorang berkurang, yang akan menekan dorongan seksualnya. Sementara kebiri fisik dilakukan dengan cara mengamputasi organ seksual eksternal pelaku, kebiri kimia dilakukan dengan cara memasukkan zat kimia anti-androgen ke tubuh pelaku agar produksi hormon testosteron berkurang dan hasil akhirnya akan sama seperti kebiri fisik. Namun kebiri kimia tidak bersifat permanen, alias hanya sementara. Artinya, jika pemberian zat anti-androgen dihentikan, efeknya juga akan berhenti.
Selain ada pertanyaan soal efektivitas hukuman kebiri, hukuman jenis ini juga dinilai sangat represif dan merupakan bentuk penghukuman yang sangat primitif dan bertentangan dengan konvensi antipenyiksaan yang telah ditandatangani Indonesia. Soal terakhir inilah yang menjadi salah satu alasan masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi 99 menolak kebiri ini pada 2016. Itu pula yang membuat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meminta agar anggotanya tidak dilibatkan dalam eksekusi hukuman kebiri kimia, karena bertentangan dengan sumpah dokter yang harus menghormati makhluk hidup.