maaf email atau password anda salah


Burusuh

Niduparas Erlang

IA terus saja menambahkan ranting bambu ranting kayu ke dalam perut tungku tanah liat itu. Bukan lagi tungku tanah liat tentu, sebab saban hari perut tungku itu terus saja dibakar-dihanguskan ketika ia atau istrinya menjerang air dalam panci penyok, atau menanak nasi dalam seeng dan aseupan, atau sekadar membakar ikan asin dan delan untuk makan siang. Tapi kini, tak ada yang tengah dijerang atau dibakarnya di atas tungku keras-kaku yang sisi kirinya telah retak-rengkah itu. Ia sekadar membakar perut tungku itu, dan membiarkan nyala api merah-oranye-biru menjilati rongga dan udara kosong di atasnya. Asap putih pekat mengepul-membumbung, menyesaki para-para tempat segala perabot dapur diletakkan dan sebungkus ikan asin, garam, dan delan digantungkan. Sementara unggunan bara dari pembakaran kayu rambutan di dasar tungku itu, tampak merah menyala serupa rahim neraka. Barangkali, serupa hangus duka dalam dadanya, sepanas kesumatnya pada Dulbari yang telah menjerat-menipunya sedemikian celaka. Ah, betapa tak celaka, sebab Dulbari—yang kini hidup makmur sejahtera sentosa itu—adalah biang keladi segala nestapa yang menderanya. Mengutuk sekujur hidupnya untuk selamanya menjalani ritus wajib-lapor saban Sabtu, di tanggal muda atawa minggu pertama setiap bulannya.

Dan ini hari Sabtu, ia tak mungkin melupa, meskipun udara pagi ini masih sepucat tugu di batas kampungnya itu. Sementara, panas api yang terus bergelora telah sedari tadi menjalarkan hangat yang menyengat pada kaki, tangan, dan wajahnya yang tampak sekusam garam diceruk leper batu. Tapi punggungnya yang mulai melengkung busur itu, belum lagi merasai hangat api. Barangkali, punggungnya masih menyimpan dingin yang nyeri, selinu bekas luka memar luka parut yang didapatnya dari kantor wajib-lapor pada Sabtu bulan lalu. Maka kini, setelah dirasanya cukup memasukkan ranting kayu ranting bambu, ia berputar dan memunggungi tungku yang terus saja menguarkan hawa panas ke segala penjuru dapur itu. Ia ngagarang pantatnya yang bisulan, memanaskan bokongnya yang kasar-korengan, dan menghangatkan tulang punggungnya yang melengkung busur itu. Ngadeang. Siduru menahan ngilu yang menggantang di tingkap waktu. Agar hangat segala gerak, agar ringan segala angan, pikirnya, dan tulang-tulang tak kaku tak kelu ketika ia mesti ngaluku atawa ngagaru di sawah milik Pak Guru Misnan. Ah, Pak Guru Misnan yang mungkin lebih menanggung ngilu dengan lara teramat panjang teramat dalam.

arsip tempo : 171389623268.

. tempo : 171389623268.

Niduparas Erlang

IA terus saja menambahkan ranting bambu ranting kayu ke dalam perut tungku tanah liat itu. Bukan lagi tungku tanah liat tentu, sebab saban hari perut tungku itu terus saja dibakar-dihanguskan ketika ia atau istrinya menjerang air dalam panci penyok, atau menanak nasi dalam seeng dan aseupan, atau sekadar membakar ikan asin dan delan untuk makan siang. Tapi kini, tak ada yang tengah dijerang atau dibakarnya di atas tungku keras-k

...

Berlangganan untuk lanjutkan membaca.
Kami mengemas berita, dengan cerita.

Manfaat berlangganan Tempo Digital? Lihat Disini

PILIHAN TERBAIK

Rp 54.945/Bulan

Aktif langsung 12 bulan, Rp 659.340

  • *Anda hemat -Rp 102.000
  • *Dijamin update hingga 52 edisi Majalah Tempo

Rp 64.380/Bulan

Aktif setiap bulan, batalkan kapan saja

  • *GRATIS untuk bulan pertama jika menggunakan Kartu Kredit

Lihat Paket Lainnya

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 23 April 2024

  • 22 April 2024

  • 21 April 2024

  • 20 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan