Wajah Sedihku
Heinrich Böll
SAAT mengamati burung camar di dermaga, wajah sedihku mencuri perhatian seorang polisi. Aku terpesona oleh camar yang melayang, membidik dan menukik ke dalam air mencari makan. Dermaga begitu sepi. Air laut hijau pekat karena minyak dan sampah-sampah mengambang di permukaannya. Tak satu pun kapal berlabuh. Derek-derek berkarat, gudang-gudang tinggal kerangkanya, bahkan tikus pun enggan hidup di antara puing hitamnya. Suasana sangat sunyi. Bertahun-tahun lamanya hubunganku dengan dunia luar terputus.
Kuperhatikan seekor camar yang sedang melayang, berayun-ayun di atas air. Kelihatannya gugup seperti melihat badai. Sesekali ia bersuara seraya menyatukan diri dengan burung lainnya. Seandainya mungkin, aku ingin memberinya remah roti dan menghapuskan bintik putih di sayapnya yang tidak berguna dan melatih mereka. Burung-burung itu kuberi umpan roti dan akan kujerat dengan gulungan benang. Tetapi seperti juga mereka, aku pun lapar. Meskipun lelah dan sedih, aku bergembira karena tempat ini menyenangkan sekali. Dengan tangan di dalam kantong, kupandang camar sambil merayakan kesedihan.
Heinrich Böll
SAAT mengamati burung camar di dermaga, wajah sedihku mencuri perhatian seorang polisi. Aku terpesona oleh camar yang melayang, membidik dan menukik ke dalam air mencari makan. Dermaga begitu sepi. Air laut hijau pekat karena minyak dan sampah-sampah mengambang di permukaannya. Tak satu pun kapal berlabuh. Derek-derek berkarat, gudang-gudang tinggal kerangkanya, bahkan tikus pun enggan hidup di antara puing hitamnya. Suasana sanga
...
Berlangganan untuk lanjutkan membaca.
Kami mengemas berita, dengan cerita.
Manfaat berlangganan Tempo Digital? Lihat Disini