Abdul Aziz Rasjid
Esais dan jurnalis, bergiat di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Purwokerto
Chabib Duta Hapsoro, kurator dan penulis seni rupa, terkenang akan lukisan klasik karya Wakidi (1890-1979) saat melawat ke Bukittinggi, Sumatera Barat. Sejak dulu, ia terpukau oleh obyek pemandangan alam Ngarai Sianok yang terbentang di lukisan salah seorang pionir Indonesia di bidang seni lukis modern itu. Chabib pun mengunjungi Janjang Seribu (1.000 anak tangga), menapak tilas jejak proses kreatif dari murid pelukis Louis van Dijk itu. Ia ingin menatap Ngarai Sianok sebagaimana citraan lukisan Wakidi yang membawa kesan pandangan seseorang dari ketinggian.
Sepanjang jejak perlawatan, memori lukisan panorama membuat pikiran Chabib menjelajah jauh ke masa silam. Karya Wakidi, sebagaimana pula lukisan Abdullah Suriosubroto (1878-1941), menggiringnya pada peneropongan sosiologis atas eksistensi genre mooi Indie di tanah jajahan Hindia Belanda. Ia merenungi, Sumatera dan Jawa yang begitu banyak direpresentasikan dalam lukisan-lukisan mooi Indie menjadi fantasi Barat tentang wilayah koloni yang dikesankan eksotis.
Di sisi lain, dua wilayah itu sarat dengan eksploitasi penjajahan paling getir yang dipenuhi banyak pertumpahan darah, seperti perang Jawa dan perang Padri. Tulisan Chabib ini, “Alam Terkembang Hilang Berganti”, yang sekaligus menjadi judul buku, membentangkan wacana bahwa di balik lukisan terdapat dinamika sosial-politik-kebudayaan suatu zaman.
Membaca 13 esai yang terhimpun dalam buku ini, terasakan betul kehadiran seni rupa terus-menerus membayangi ingatan, perjalanan, serta menjadi percikan-percikan permenungan. Dari awal hingga akhir, Chabib melakukan suatu tanggapan berkesinambungan akan sosok-sosok perupa serta karya demi karya. Hasilnya adalah jalinan cerita yang dipenuhi napak tilas, kesan, dan pendapat. Sedangkan di dalam karya tersisip humor serta ketegangan di antara pencarian bentuk (craftmanship), medan gagasan, dan konteks kebudayaan sebagai kenyataan aktual kehidupan seorang perupa.
Sisi humor sebagai ungkapan olok-olok terungkap, misalnya, dalam hayat dan karya Mufti “Amenk” Priyanka. Dalam esai pembuka berjudul “Yang Picisan dan Mengolok-olok”, Chabib menemukan bahwa trajektori kekaryaan seorang perupa sangat dipengaruhi oleh konteks kebudayaan. Memaknai kreativitas Amenk, Chabib menilai tema olok-olok sebagai pancaran karya mengacu pada budaya anak muda di Bandung yang hibrida, ekletik, dan kosmopolit. Ini berarti, karya menjadi muara nilai-nilai modernitas yang penuh paradoks dan ironi.
Telaah Chabib pada poster gigs A Stone A (2011) karya Amenk, yang memvisualkan anak punk mencium tangan polisi, menegaskan pemaknaan itu: “Filosofi punk ialah anti kemapanan, anarki dan antiotoritas. Dengan mencium tangan polisi dan meminta maaf, berarti anak punk tersebut menghormati serta takluk pada otoritas dan menerima ideologi feodalisme (cium tangan). Karya ini merepresentasikan parodi seniman atas hibriditas dari sebuah kebudayaan. Poster ini jenaka karena menabrakkan representasi budaya yang bertolak belakang dan uniknya benar-benar terjadi di Indonesia.” (halaman 9)
Chabib secara mendetail juga membabar renik peliknya kehidupan perupa. Pembahasan tentang Haryadi Suadi (1938-2016) dalam esai “Sang Kolektor dan Ahli Warisnya” mewujud dalam kisah biografis yang ditulis khidmat. Perbincangan diletakkan dalam konteks dua generasi, yakni hubungan, kenangan, serta pengalaman seorang ayah dan anak. Kesemuanya itu digaritkan dalam secarik wasiat pemikiran bahwa seni rupa adalah medium untuk menyampaikan sesuatu serta ruang visual untuk menempatkan tradisi keindonesiaan sebagai inspirasi sekaligus terobosan.
Wasiat mendiang Haryadi tidak hanya untuk dipikirkan, tapi juga untuk dipraktikkan. Putra Haryadi, Radi Arwindu, menjelajahi kemungkinan-kemungkinan itu melalui lukisan Cylu Man V (akrilik di atas kanvas. 5 panel. 2006) yang memadukan citraan tradisi dan budaya pop. Lukisan ini meredefinisikan elemen-elemen visual tradisi mitos pesugihan Jawa, mengemas ulang lukisan kaca Cirebon, serta memadukannya dengan seni lukis superflat Jepang. Secara tersirat, tampaknya Chabib meletakkan kematian Haryadi Suadi bukan sekadar peristiwa kepergian seorang perupa, melainkan testamen seni rupa.
Kumpulan tulisan Chabib Duta Hapsoro ini sebagian sudah dipublikasikan sebagai ulasan pameran atau pengantar kuratorial pameran. Nuansa di masing-masing tulisan tak berpretensi menjadi bacaan dengan gagasan-gagasan yang sistematis dan ketat, dengan pendahuluan, isi, dan kesimpulan yang tertata sebagaimana sering kita jumpai pada traktat-traktat akademis. Chabib berpikir secara rasional-intuitif.
Meski begitu, Chabib menawarkan bentangan luas, dimulai dari mooi Indie, sketsa-sketsa di masa revolusi kemerdekaan Indonesia, praktik berkarya yang sinis terhadap situasi medan seni rupa kontemporer Indonesia, dua sisi fotografi sebagai daya eksploitatif dan empati, serta situasi batin para perupa di balik penciptaan karya. Semua itu menegaskan bahwa kehidupan seni rupa Indonesia mengalami progresivitas, baik dalam eksperimentasi bentuk maupun gagasan.
Chabib mengingatkan, di tengah progresivitas tersebut justru eksistensi kritik seni rupa mengalami nasib ironis mengalami ketertinggalan dari segi kuantitas produk. Dalam esai penutup berjudul “Jalan Sunyi Sanento Yuliman”, tersimpulkan bahwa kritik seni rupa masih akan menempuh jalan sunyi di tengah ingar-bingar peristiwa seni rupa kontemporer. Ranah penciptaan menerima paling banyak lampu sorot, sebaliknya telaah seni rupa seakan-akan terabaikan. Kritik pun mengalami keterbatasan ruang publikasi, berhadapan dengan sikap antikritik, serta posisinya dikalahkan oleh kurator dan otoritas pasar.
Buku Alam Terkembang Hilang Berganti menegaskan bahwa Chabib Duta Hapsoro adalah pengisah sekaligus pengamat yang berupaya merawat, menafsir, serta menyikapi dengan kritis berbagai sejarah, hubungan, kenangan, perjalanan, dan pengalamannya melebur bersama seni rupa. Aktivitas itu digerakkan karena Chabib dimabuk cinta seni rupa. Cinta, sebagaimana kata Erich Fromm, adalah subyek yang aktif, sadar, produktif, dan terus berproses; bukan sebaliknya pribadi yang sepi nan pasif. Cinta selalu mengedepankan laku memaknai sebagai eksistensi mencintai, ia tak peduli walau lampu sorot alpa menandai sosok serta kehadirannya. ***
Alam Terkembang Hilang Berganti
Penulis : Chabib Duta Hapsoro
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tebal : ix + 181 halaman
Cetakan : Pertama, Maret 2020
ISBN : 978-602-481-355-0