Lestantya R. Baskoro
Penulis
KISAH kelam pasca-Gerakan 30 September 1965 di Bali terekam benar dalam benak Putu Setia, mantan wartawan yang kini "lahir kembali" menjadi pendeta Hindu dengan nama Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda. Kekelaman itu berwujud dalam beragam bentuk di desanya, di perbukitan Batukaru: penganiayaan, penculikan, pembantaian, hingga pemerkosaan.
Lentera Batukaru merupakan kesaksian pahit Putu atas peristiwa di Desa Pujungan, Tabanan, dan seputarnya. Saat itu ia duduk di bangku SMP, aktif sebagai pengurus GSNI (Gerakan Siswa Nasional Indonesia), organisasi pelajar yang menginduk ke PNI dan berseberangan dengan IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) yang berafiliasi ke PKI. Putu menceritakan bagaimana gesekan terjadi antara organisasinya dan IPPI. Juga bagaimana seorang siswi yang bapaknya aktivis PKI diperkosa tentara.
Ia melihat tragedi yang terjadi di desanya itu dari kacamatanya sebagai bocah SMP dan juga, kemudian, setelah dewasa, sebagai wartawan. Bagaimana hari-hari mencekam muncul di desanya setelah peristiwa G30S tersebut. Ia, misalnya, menceritakan bagaimana sejumlah rumah milik mereka yang disebut pengurus PKI dibakar massa dari luar desa mereka. Sejarawan University of British Columbia, John Roosa, menyebut pembunuhan terhadap orang-orang PKI di Bali baru terjadi setelah Desember 1965, setelah kedatangan RPKAD ke sana. (John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, 2008)
Tak hanya bertutur tentang dahsyatnya dampak peristiwa G30S untuk masyarakat Bali, buku ini juga memuat kritik Putu atas sejumlah pandangan tokoh adat Bali yang menurut dia keliru, termasuk soal pengkastaan. Ia, misalnya, mengkritik pemeluk agama Hindu Bali yang merasa "lebih tinggi" ketimbang pemeluk di luar Bali. "Ada upacara piodalan di pura-pura di Jawa, orang Hindu Bali datang membawa sesajen versi Bali. Sesajen orang Hindu di Jawa sepertinya tak dipakai. Orang Jawa pakai blangkon ke pura dibilang salah, harus pakai destar. Menembangkan kidung versi Jawa dibilang tak sesuai dengan sesajen. Apa sih maunya orang Bali?" (hlm. 247).
Dalam tragedi di Batukaru, desanya, Putu menceritakan peristiwa keji yang menimpa kakak sepupunya, Ni Wayan Ngarti. Suami Wayan Ngarti, I Nyoman Mastra, "kena garis"-sebuah kata paling menyeramkan saat itu, yang artinya "terlibat PKI dan diambil tentara"-dan itu berarti lagi bisa hilang atau mati. Bersama dua anaknya, I Wayan Sunawa dan Ni Made Kerti, kakak sepupunya hanya bisa meratap saat serombongan tentara, di tengah malam, menyeret pergi Nyoman Mastra. Mengenaskan, karena "kesalahan" Nyoman hanya ikut membantu mendirikan panggung kesenian milik PKI. Tak ada yang tahu ke mana Nyoman dibawa.
Putu menyaksikan dua keponakannya tumbuh dalam trauma peristiwa itu. Bertahun-tahun kemudian, bersama Wayan Sunawa-yang yakin ayahnya masih hidup-Putu menyusuri sejumlah tempat, di pantai barat Bali yang "menurut cerita orang" tempat penguburan massal mereka yang "kena garis".
I Wayan Sunawa, setelah pemerintahan Orde Baru membebaskan para tahanan Pulau Buru-termasuk membebaskan seorang tokoh PKI di desanya-saban malam, setiap kali mendengar apa pun di luar rumah, segera meloncat, membuka pintu, berharap ayahnya muncul. Harapan yang sia-sia, hingga Putu meyakinkan keponakannya itu bahwa sang bapak-yang sudah diaben (demikianlah para warga kampung mengaben siapa pun yang tewas dalam tragedi kelam itu kendati tak jelas keberadaannya)-sudah tak ada.
Ini bukan buku pertama Putu yang menceritakan kehidupan dan perjalanan hidupnya. Sebelumnya, ia menerbitkan biografinya, Wartawan Menjadi Pendeta, yang berisi kisah "metamorfosisnya" dari seorang manusia biasa menjadi pendeta Hindu setelah mengikuti sejumlah tahap dan ritual, termasuk ritual "dimatikan dan dihidupkan kembali". Pada Wartawan Menjadi Pendeta, sebenarnya Putu sudah menyinggung perihal aktivitasnya "berpolitik" ketika di SMP dan bagaimana kekelaman pasca-1965 di desanya. Lentera Batukaru bisa disebut versi detailnya.
Lentera Batukaru merupakan "tambahan" lain cerita seputar tragedi kemanusiaan akibat peristiwa G30S di negeri ini-yang diperkirakan menyebabkan tak kurang dari setengah juta orang tewas. Buku Putu menjadi lain karena ia bercerita dari sisi sebagai saksi langsung. Menjadi penting karena memberi informasi bagaimana tragedi itu terjadi di sebuah desa yang bisa disebut terpencil.
Seperti pada Wartawan Menjadi Pandita, pada akhirnya kita juga melihat sosok Putu yang selalu mensyukuri perjalanan hidupnya, yang dipandangnya selalu tak terduga. Dari penjual koran, tukang listrik, menjadi reporter harian lokal, hingga menjadi wartawan Tempo . Dan kini, setelah pensiun menjadi wartawan-namun tetap menjadi penulis dan kemudian pendeta-Putu membangun pasraman, pusat kegiatan ritual dan sosialnya, di desanya, yang diharapkannya menjadi "lentera" bagi masyarakat sekitar.
Lentera Batukaru. Tragedi Kemanusiaan Pasca-1965
Penulis : Putu Setia (Mpu Jaya Prema Ananda)
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, 2019
Tebal : 255 halaman