BANTUL -- Lebih dari 100 hektare lahan pertanian di Kabupaten Bantul beralih fungsi menjadi hunian. Akibatnya, hasil panen gabah kering giling (GKG) setiap tahun menyusut lebih dari 1.800 ton. Itu juga mempengaruhi swasembada beras dan bisa menyebabkan krisis pangan.
"Kalau 1 hektare menghasilkan 6 ton GKG, dalam satu tahun kehilangan 18 ton, karena tanamnya tiga kali," kata Agus Hudi Subagiyo, Sarana Prasarana dan Agrobisnis Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kehutanan Kabupaten Bantul, kemarin.
Dia menambahkan, alih fungsi lahan pertanian itu sebagian besar dipergunakan untuk permukiman, baik yang dilakukan oleh warga maupun pengembang. Setelah gempa di Bantul pada 2006, para pengembang mengincar daerah Bantul utara, yang mendekati Kota Yogyakarta, untuk dijadikan perumahan.
Jika dibiarkan, area pertanian seluas 16.500 hektare akan terus berkurang. Efeknya, ketersediaan pangan terus berkurang dan swasembada pangan terancam, serta bisa menyebabkan krisis pangan.
Berdasarkan data di Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kehutanan Bantul, saat ini Kabupaten Bantul mampu memproduksi GKG 190.357 ton. Jumlah itu masih surplus jika dibanding kebutuhan warga. Penyusutan lahan pertanian 100 hektare per tahun itu, kata Agus, sangat tinggi, sehingga perlu ada tindakan pencegahan pengalihfungsian lahan produktif menjadi permukiman.
Sebagai upayanya, dinas memberikan insentif berupa pembuatan sertifikat gratis bagi lahan milik petani, dengan catatan petani tidak melakukan alih fungsi lahan dalam 10 tahun.
Penyusutan lahan padi terjadi akibat kecenderungan petani beralih menanam sayur-sayuran karena dianggap lebih menguntungkan dibanding padi. “Lebih menguntungkan kalau menanam selain padi,” kata Lilik, 24 tahun, petani di Desa Srigading, Sanden, Bantul. MUH SYAIFULLAH