Tumpukan batang bambu itu tertata rapi di sudut ruangan. Terhimpun dalam ikatan-ikatan kecil dengan panjang masing-masing sekitar 80 sentimeter. Di sekitarnya, terserak karung goni, gulungan tali, lembaran kain bekas, dan setumpuk tangkai bunga rayung, yang telah dikeringkan.
Berantakan memang. Tapi dari tempat itulah Darudah beroleh penghidupan. "Dari kecil sudah belajar membuat sapu," kata perempuan 68 tahun ini saat ditemui Selasa siang silam.
Berada di tepi jalan di Desa Bojong, Kecamatan Mungkid, Magelang, debu dan asap knalpot langsung menyerbu masuk tempat Darudah bekerja saat kendaraan bermotor melaju. Belum lagi bising deru mesinnya. Terasa benar mengganggu di telinga. Namun semua itu tak mengusiknya bekerja. Mengikat tangkai bunga rayung menjadi sapu.
Tangkai bunga, yang disebut Darudah sebagai kembang glonggong, itu dipilah, dikumpulkan segenggaman tangan, dan diikat dengan benang. Setelah terikat, ditumpuk di sisi dia duduk. Begitu seterusnya.
Untuk menjadi sapu, ikatan tangkai itu disatukan di ujung batang bambu. Tiga atau empat ikatan per batangnya. Agar kuat, ikatan dipaku pada batang. Lantas dirapikan dengan jahitan benang atau kain. Cukup sederhana. Dan sapu siap pakai pun jadi.
Sudah lama kampung di Bojong ini dikenal sebagai sentral kerajinan sapu. Sapu yang dihasilkan perajin dipasarkan hingga ke luar daerah, bahkan pernah ke luar negeri. "Dulu ada yang diekspor ke Jepang dan Belanda," Darudah mengingat.
Kembang glonggong, bahan baku untuk membuat sapu, banyak didapat di sekitar desa. Biasanya pohon ini tumbuh di sepanjang sisi jalan menuju Gunung Merapi.
Tak hanya tangkai bunganya yang berguna, bagian lain pohon ini juga bermanfaat untuk kepentingan berbeda. Daunnya digunakan untuk membungkus tempe dan batangnya digunakan untuk lanjaran (rambatan) tanaman buncis.
Menurut Darudah, bahan baku sapu ini cukup mahal harganya. Setelah dibersihkan dari bunga dan dikeringkan, harga tangkai glonggong mencapai Rp 1 juta per kuintal.
Adapun bambu yang digunakan sebagai tangkai sapu adalah bambu cendani, yang biasanya didatangkan dari Wonosobo. Keunggulan bambu jenis ini adalah terlihat mengkilap meski tak diplitur. Hingga pas digunakan sebagai bahan kerajinan. Termasuk sapu atau aksesori lain.
Kilap alami bambu ini didapat dari proses pemanasan. Sebelum digunakan sesuai dengan keinginan, bambu dipanaskan di oven. Suhu yang panas membuat sejenis cairan minyak yang terkandung dalam bambu keluar. Minyak inilah yang kemudian berfungsi sebagai bahan pengkilap. Agar lebih halus dan mengkilap, bambu digosok dengan penghalus.
Darudah mengatakan sebagian besar sapu yang dihasilkan disetor kepada pengepul yang memesan. Ada juga beberapa perajin yang memasarkan sendiri produk mereka. Dari para pengepul itulah sapu-sapu "made in Bojong" ini lantas dikirim ke kota para pemesan.
Sapu-sapu itu diberi harga bervariasi sesuai dengan kualitas dan ukurannya. Dengan panjang 80 sentimeter hingga sekitar 1 meter, sapu dihargai Rp 8.000-15.000.
Menurut dia, usahanya membuat sapu tak seramai dulu. Sepuluh tahun lalu, ada 32 orang yang bekerja di tempatnya. Dengan jumlah pekerja sebanyak itu, dia mampu memproduksi 20 ribu sapu dalam sebulan. "Satu kontainer," kata dia.
Barang-barang itu lantas dikirim ke berbagai kota, seperti Jakarta, Kudus, Semarang, Tulungagung, Pacitan, Ponorogo, Banyuwangi, hingga Bali.
Kini, Darudah menambahkan, tinggal tiga pekerja. Itu pun hanya untuk memenuhi pesanan. "Sudah tua," kata Darudah, yang mengaku masih bisa menyelesaikan 10 sapu dalam sehari.
Namun dia mengaku cukup puas atas pekerjaan yang dilakoni selama ini. Sapu-sapu itu seakan menerbangkannya meraih impian hidup. Selain mencukupi kebutuhan keluarga, dia mampu menyekolahkan 10 anaknya. Sebagian anak-anaknya itu kini memilih berprofesi sebagai perajin bambu. "Yang dua jadi tentara," kata dia, bangga.
Tahun lalu, dia juga dapat menunaikan ibadah haji ke tanah suci.
Abdur Rochim, 35 tahun, seorang perajin lain, mengatakan mayoritas warga desa memang berprofesi sebagai perajin sapu. Namun dibanding belasan tahun lalu, jumlahnya kini lebih sedikit. Hanya 70 hingga 100 orang. "Dulu lebih banyak lagi," kata dia.
Kini, dia menambahkan, banyak perajin yang menekuni kerajinan lain. Semisal anyaman bambu yang dibuat untuk rak, suvenir, aksesori ruangan, hingga keset. Meski demikian, citra desa sebagai penghasil sapu tetap tak hilang. ANANG ZAKARIA
Berkah pada Musim Liburan
Tak susah mendapatkan sapu hasil kerajinan Desa Bojong ini. Jika Anda melintasi jalan Magelang-Yogyakarta, di sepanjang Kecamatan Muntilan berderet toko yang menjual hasil kerajinan alat rumah tangga. Sejenak cermatilah! Selain cobek batu, bakul, dan tampah dari anyaman bambu, ada sapu.
Sanusi, 81 tahun, salah seorang penjual, mengatakan hampir semua sapu yang dijajakan di kawasan ini berasal dari Bojong. Selain sapu yang terbuat dari kembang glonggong, ada yang dari ijuk-kulit pohon aren. Harganya cukup bervariasi, sesuai dengan ukurannya. Dari Rp 8.000 hingga Rp 12.000.
Menurut dia, pada hari tertentu-semisal musim libur--jumlah pembeli barang-barang itu meningkat. Umumnya mereka adalah wisatawan dari atau menuju Candi Borobudur. "Sekalian oleh-oleh, mungkin," kata dia.
Penjual lain, Surati, mengatakan pada musim liburan, seperti Natal dan tahun baru lalu, banyak pembeli yang mampir ke tokonya. Sedikitnya dua atau tiga barang dagangannya laku terjual. Namun, di luar musim liburan, pembeli kembali sepi. "Bahkan sering tak ada sama sekali," kata dia.
Di toko-toko ini, pembeli juga biasa membeli cobek batu. Untuk alat rumah tangga ini harganya lebih beragam. Cobek dengan ukuran sebesar piring biasa dihargai belasan ribu rupiah. Namun, jika ukurannya mencapai sebesar tampah atau wajan penggorengan, harganya bisa ratusan ribu rupiah. ANANG ZAKARIA