maaf email atau password anda salah
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Belum Memiliki Akun Daftar di Sini
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Konfirmasi Email
Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.
Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo
Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Masukan alamat email Anda, untuk mereset password
Konfirmasi Email
Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.
Ubah No. Telepon
Ubah Kata Sandi
Topik Favorit
Hapus Berita
Apakah Anda yakin akan menghapus berita?
Ubah Data Diri
Jenis Kelamin
Pada 2013, terbit buku berjudul Naik Haji di Masa Silam: Kisah-kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964 (Kepustakaan Populer Gramedia) susunan Henri Chambert-Loir. Buku tiga jilid ini berisi dokumentasi-dokumentasi penting mengenai haji. Chambert-Loir menganggap buku-buku lawas pantas dibaca ulang oleh publik agar mengerti kesejarahan haji. Sekian buku telah sulit dicari alias langka. Penerbitan ulang diperlukan untuk menilik para tokoh dan pemahaman haji pada masa silam. Tiga buku langka menurut pelacakan Chambert-Loir adalah Perdjalanan Saja ke Mekah (1925) oleh R.A.A. Wiranatakoesoema, Mandi Tjahaja di Tanah Sutji (1951) oleh Hamka, dan Hati Terpikat di Tanah Sutji (1954) oleh Saiful U.A. Puluhan buku terbitan abad XV-XIX pasti semakin sulit dicari.
Iwel Sastra, Komedian dan Pakar Motivasi
Pada 1996, saya bertemu dengan Nasri Cheppy, sutradara yang terkenal lewat film Catatan Si Boy. Kepadanya, saya mengutarakan keinginan menjadi seorang pelawak. Dengan santai Nasri Cheppy mengatakan saya harus bekerja lebih keras supaya bisa terkenal sebagai pelawak, karena wajah saya "nanggung". Menurut dia, wajah saya tidak lucu untuk menjadi seorang pelawak, sedangkan untuk menjadi aktor masih kalah ganteng dari Anjasmara dan Tengku Ryan, yang saat itu sedang naik daun sebagai pemain sinetron. Saya tidak tersinggung oleh pendapat ini. Menurut saya, ini kritik membangun untuk memotivasi saya. Dalam hati, saya tetap merasa ganteng. Buktinya, karena saking terlalu ganteng, ibu saya sendiri sampai tidak mengenali saya adalah anaknya. Sambil menggendong saya, Ibu sering bertanya, "Anak ganteng siapa, nih?"
Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.