Edisi Minggu, 1 September 2013
Cari angin
Putu Setia
@MPUJAYAPREMA
Yang saya hormati Menteri Agama Suryadharma Ali, saya mengabarkan kepada Bapak bahwa ada kemungkinan pergelaran Miss World tetap berlangsung di Bali. Dengan sangat menyesal, kami penduduk Bali tak bisa mengikuti saran Bapak agar memperhatikan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang isinya menolak keras penyelenggaraan Miss World itu.
Ormas-ormas Islam yang dimotori Front Pembela Islam (FPI) sudah jelas pula sikapnya menolak Miss World ini, bahkan menyebutkan akan dilaknat Allah jika pergelaran yang tak Islami itu dilangsungkan. Ternyata panitia Miss World bersama pemuka adat Bali sudah datang ke Pura Besakih untuk mohon restu ke hadapan Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.
@MPUJAYAPREMA
Baca Selengkapnya
Metro
TANGERANG - Calon Wali Kota Tangerang, Dedi Suwandi Gumelar atau yang sering disapa Miing, menuding pemilihan Wali Kota-Wakil Wali Kota Tangerang yang digelar kemarin cacat hukum. Politikus PDI Perjuangan ini melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Banten dan akan mengadu ke Mahkamah Konstitusi.
Dedi mengatakan, banyak pelanggaran di berbagai tahap pemilihan yang dibiarkan KPU. Dalam pemilihan orang nomor satu di Kota Tangerang ini, kata Dedi, ada partai mengusung dua kandidat. "Mana ada satu partai politik mendukung dua kandidat, hanya ada di Kota Tangerang," katanya.
Baca Selengkapnya
Ide
Bandung Mawardi,
PENGELOLA JAGAT ABJAD SOLO
Keraton Surakarta sering menjadi referensi keburukan, bersumber dari aksi-aksi perebutan kekuasaan. Kabar tentang konflik keluarga dan kerabat di Keraton Surakarta terus berlanjut, menimbulkan aib dan stigmatisasi publik. Keraton Surakarta perlahan dianggap "situs konflik", mengalami kepudaran harmoni. Insiden memalukan berlangsung di Keraton Surakarta, Senin, 26 Agustus 2013. Adegan legitimasi kekuasaan menguak nalar kekerasan: abai tata krama dan etika berpolitik. Keraton Surakarta semakin kehilangan pamor, mengalami keruntuhan imajinasi kesejarahan dan kekuasaan di abad XXI. Keributan-keributan berdalih perebutan kekuasaan dan legitimasi politik-kultural justru memamerkan "teater bebalisme". Publik semakin memiliki imajinasi ironis atas kebermaknaan Keraton Surakarta akibat konflik perebutan kekuasaan para ahli waris raja.
Kita bisa menilik imajinasi Keraton Surakarta di masa silam, tercatat oleh para pengembara asal Eropa dan Amerika Serikat. Deskripsi dan narasi para pengembara itu pantas menjadi perbandingan, rujukan untuk mengimajinasikan Keraton Surakarta. Eliza Ruhamah Scidmore (1897), pengelana asal Amerika Serikat, mencatat tentang kehidupan di Keraton Surakarta atau Solo. Catatan kecil tapi bisa memberi ajakan pembaca mengimajinasikan masa lalu: "… kerajaan Islam tua di sana cuma diberi daerah kekuasaan sebatas keraton, seluas 1 mil persegi. Susuhunan atau junjungan rakyat Solo hidup sebagai tahanan rumah pemerintah Belanda, cuma bayangan dari penguasanya yang mengagumkan, leluhurnya… (James R. Rush, Jawa Tempo Doeloe, 2013). Laporan itu memberi kesan ada teater politik, menempatkan keraton dan raja sebagai imajinasi kekuasaan bagi kaum pribumi. Pemerintah kolonial menjadikan Keraton Surakarta sebagai "situs imajinasi kultural", yang kehilangan otoritas politik.
PENGELOLA JAGAT ABJAD SOLO