maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Google

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Ide di Edisi Lainnya

Edisi Minggu, 18 Agustus 2013

Bandung Mawardi,
PENGELOLA JAGAT ABJAD SOLO

Proklamasi mendapat pemaknaan berbeda dari dua penguasa: Sukarno dan Soeharto. Mereka rajin berpidato tentang proklamasi, mengabarkan sejarah dan masa depan Indonesia. Proklamasi tak cuma kata dan peristiwa. Proklamasi adalah argumentasi untuk mengukuhkan biografi dan nalar kekuasaan. Sukarno dan Soeharto menjadi dua penguasa kondang, memberi puluhan pidato mengandung seribu makna. Sukarno berpidato dengan klaim "amanat Proklamasi". Soeharto pun memiliki klaim berlatar politik: "amanat kenegaraan".

Sukarno adalah pembaca naskah Proklamasi, 17 Agustus 1945. Peristiwa itu meresmikan peran besar Sukarno bagi Indonesia, membaca kata-kata keramat demi kemerdekaan. Sukarno membaca di beranda rumah, beralamat di Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Peristiwa sejarah bersahaja mengubah nasib Indonesia. Bernhard Dahm (1987) menganggap adegan pembacaan naskah Proklamasi itu "tak wajar" dan "sangat sederhana" jika mengacu ke derita panjang perjuangan, dari masa ke masa. Sukarno memberi pidato pendek dan membaca naskah Proklamasi dengan wajah pucat dan tubuh letih akibat sakit. Kondisi itu tak membuat adegan sejarah jadi lungkrah. Sukarno sanggup membuat peristiwa sekejap menjadi puitik dan dramatik. Selebrasi untuk Proklamasi dilangsungkan setiap tahun, berisi pidato dan upacara. Sukarno mulai memiliki rutinitas, berpidato, mengolah kata dan menampilkan tubuh berwibawa dalam teater politik Indonesia. 1958, Sukarno memberi pidato dengan pengandaian jumlah, melampaui peristiwa 17 Agustus 1945. Sukarno berkata: "Ah, tiap-tiap kali saja berpidato pada hari 17 Agustus, hatiku selalu terharu karena mengetahui bahwa begitu banjak orang Indonesia mendengarkan pidato saja. Pada hari sekarang ini mungkin 50-60 djuta orang Indonesia memasangkan telinganja kepada apa jang saja katakan." Pidato tentu berpengaruh besar untuk misi politik Sukarno: revolusi. Jumlah itu menandai ada perhatian dan pesona kata dalam menggerakkan Indonesia.

Baca Selengkapnya

Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan