Pada 28 Oktober 1928 para pemuda bersumpah tentang bahasa, bangsa, dan tanah air yang satu, yaitu bahasa, bangsa, dan tanah air Indonesia. Bayangkan betapa pada zaman itu, ketika penjajahan begitu kuat, pemuda-pemuda kita bermimpi tentang sebuah bangsa yang sekarang menjadi Indonesia. Bangsa ini sudah eksis sebagai bangsa yang besar, jatuh-bangun, dan sekarang sedang mendaki ke puncak. Tetapi pilar-pilar kebersamaan itu semakin rapuh. Dari luar, Indonesia kelihatan kokoh. Tetapi, dari dalam, Indonesia mirip sebuah fragile state yang setiap saat bisa kembali terlempar ke situasi yang memprihatinkan. Kita mungkin tak akan kembali ke tahun kelam 1965, tetapi bukan mustahil kita melihat Uni Soviet yang lain, kita melihat desentralisasi yang keluar dari rel, dan ketegangan horizontal yang merisaukan.